Ketika pertama kali terlibat dalam pengembangan Kompasiana dari sebuah blog berjamaah milik wartawan Kompas Gramedia menjadi portal Citizen Journalism, awal Mei 2009, saya tidak memiliki rujukan mendalam soal apa dan bagaimana jurnalisme warga. Yang ada di benak saya waktu itu hanya penggabungan dua kata, yaitu “jurnalisme” dan “warga”, yang bisa diartikan sebagai aktivitas kewartawanan yang dilakukan oleh masyarakat umum.
Waktu itu saya bukanlah orang yang memahami betul istilah citizen journalism. Juga belum pernah terlibat di dalamnya dan jauh dari kriteria seorang praktisi CJ. Meskipun sudah melahap banyak bahan bacaan seputar citizen journalism, termasuk artikel fenomenal berjudul “The 11 Layers of Citizen Journalism” karya Steve Outing (2005), pemahaman saya seputar citizen journalism baru di permukaan.
Yang saya lakukan waktu itu adalah menjadikan Kompasiana sebagai tempat orang-orang mempraktekkan jurnalisme warga dengan menyediakan fitur-fitur dan rubrikasi untuk diisi dan dimanfaatkan oleh para pengguna Kompasiana (yang belakangan lazim disebut Kompasianer).
Fitur utama yang diperlukan tentu saja fitur blogging, agar setiap orang bisa menulis sendiri apa yang ingin disampaikan ke publik. Fitur ini merupakan bentuk modern dari gaya jurnalisme warga sebelumnya yang dilakukan lewat pos atau email (yang kemudian diketik ulang atau ditinjau ulang oleh redaksi setempat).
Dan berbeda dengan konsep Kompasiana versi awal, Kompasiana Baru yang diperkenalkan pertama kali pada saat ulang tahun pertama Kompasiana, Oktober 2009, memberi kebebasan kepada Kompasianer untuk langsung menayangkan tulisannya tanpa harus menunggu persetujuan pengelola Kompasiana. Selain itu, kebebasan menulis juga didukung dengan disediakannya beragam rubrikasi. Kompasianer juga diberi kemudahan untuk menentukan format tulisannya, apakah berbentuk berita (Reportase), pendapat pribadi (Opini) atau karya fiksi (Fiksi).
Setelah itu, Kompasiana terus berkembang pesat menjadi sebuah media warga terbesar di Indonesia dengan 114 ribu lebih pengguna terdaftar dan 900 tulisan mengalir setiap harinya. Per Desember 2011, merujuk data yang dikeluarkan Google Analytic, website milik KOMPAS.com ini sudah dikunjungi oleh hampir enam juta pengunjung dan mendulang 9,5 juta PageViews (halaman dibuka) dalam kurun waktu sebulan terakhir.
Posisinya juga cukup tinggi, yaitu di peringkat 36 website besar Indonesia berdasarkan penghitungan situs pemeringkat Alexa.com (per 22 Maret 2012). Kalau dihitung dari peringkat website lokal (buatan Indonesia), maka posisi Kompasiana yang baru berusia tiga tahun cukup tinggi, yaitu berada di peringkat ke-11 (peringkat pertama dipegang oleh Kaskus).
Konsep sederhana yang diusung Kompasiana, yaitu kebebasan setiap orang untuk berbagi dan berinteraksi lewat tulisan, tentu tidak luput dari kritikan, khususnya terkait dengan penerapan jurnalisme warga. Karena bagaimana pun, jurnalisme atau kewartawanan merupakan istilah khusus yang selama ini melekat pada industri media dan tidak bisa begitu saja disematkan ke setiap orang secara bebas dan terbuka. Profesi wartawan pun memiliki tahapan-tahapan tertentu, dan penerapannya di negara mana pun, mengacu pada undang-undang, peraturan dan kode etik yang dibuat, diterapkan dan dipraktekkan bersama-sama oleh insan pers dan pelaku media.
Beragam pertanyaan pun mengemuka, menyoroti kiprah Kompasiana selama tiga tahun terakhir. Apakah media ini layak disebut sebagai website citizen journalism dan menjadi media bagi para jurnalis warga? Apakah tulisan-tulisan yang ditayangkan di dalamnya sudah sesuai dengan standar jurnalistik? Bagaimana dengan keabsahan berita dan narasumbernya?
Sejujurnya, bila Kompasiana dibangun berdasarkan jawaban-jawaban ideal atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, maka tingkat kesulitan yang dihadapi di awal dan progres pengembangan di tahun-tahun berikutnya tidak akan seperti sekarang. Atau boleh jadi Kompasiana urung berkembang dan berkecimpung di ranah jurnalisme warga sama sekali!
Apa yang diterapkan Kompasiana sejatinya sesederhana apa yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik di rumah, di kampus, di kantor, di pasar, di halte bis, ataupun di warung kopi. Masyarakat Indonesia senang bercakap-cakap dan berbagi kabar. Setiap ada informasi baru, mereka bergegas menceritakannya ke teman atau saudaranya. Setiap ada isu hangat yang sedang berkembang lewat media massa, mereka beramai-ramai memperbincangkannya di warung kopi.