Saat masih bekerja di gedung Kompas Gramedia, saya sering naik KRL. Dari Stasiun Tanjung Barat menuju Stasiun Palmerah. Kalau pas lagi ada undangan pembicara di hotel manapun di Bogor, sudah pasti saya memilih kereta daripada bawa mobil. Tinggal naik kereta di Stasiun Tanjung Barat, turun di Stasiun Bogor.
Kemarin, saat pulang ke istananya, Presiden Jokowi melakukan hal yang sama. Naik kereta di Stasiun Tanjung Barat, turun di Stasiun Bogor.
Tapi tentu Jokowi tidak sendirian. Ada sepasukan pengamanan dan staf yang menyertainya. Dan sepasukan lain yang mengamankan keretanya. Beda dengan saya yang sendiri aja kalo keluar rumah--kecuali kalo bini dan anak-anak bisa saya ajak ikut.
Saya membayangkan, pasukan pengaman kereta sudah ada di dalam gerbong yang akan dinaiki presiden setidaknya dari Stasiun Kalibata. Pasukan ini, tentu dalam jumlah dan dengan penampilan yang tidak mencolok, bertugas memastikan gerbong dan keretanya steril dari potensi bahaya dan gangguan keamanan.
Pihak Commuter Line pun sudah dikontak dengan info yang lugas: RI1 naik KRL! Ini untuk memastikan tidak ada masalah teknis sepanjang perjalanan.
Jokowi memang sosok yang spontan dan tak terduga kemauannya. Paspampres dan staf yang menyertainya sering kewalahan memastikan prosedur protokoler dalam perjalanan tetap terpenuhi meskipun dengan waktu persiapan yang sangat, sangat, sangat mepet.
Saya merasakan betul tekanan yang mereka alami. Setidaknya dari hasil ngobrol dan pengamatan dengan tim istana saat saya ikut dalam kunker presiden di Kupang, akhir 2016.
Kejutan yang mungkin diberikan Jokowi mulai dari kunjungan ke tempat yang tidak terjadwal, berhenti di perjalanan, mengganti mobil dari Mercy Kepresidenan ke Kijang Venturer, lalu kemarin pindah dari Kijang ke kereta.
Tadi waktu berangkat dari Hotel Horison Palembang ke Bandara Mahmud Badaruddin II, supir rental yang membawa saya menceritakan momen saat Jokowi memilih naik mobil Kijang saat berkunjung ke Palembang dan Sumsel, tahun lalu.
Memang seru ikut presiden asik seperti Jokowi, bukan hanya karena tingkat elitenya, tapi juga karena sensasi spontanitas dan ketegangan di dalamnya.
Tapi semendadak-mendadaknya keinginan presiden, tim di sekelilingnya tetap dituntut menjalankan tugas sesuai ketentuan yang berlaku.