Ya, saya menolak Revisi UU MD3 yg disahkan DPR hari ini, khususnya pasal-pasal kontroversialyang mengatur soal pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas DPR, dan langkah hukum terhadap pihak yang diduga merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Apa definisi kehormatan di sini? Saya rasa pasal-pasal pidana terkait pencemaran nama baik sudah cukup, dan berlaku untuk semua lembaga.
Apakah DPR sudah berubah menjadi penegak hukum? Kalau alasannya KPK gak mau datang, bukan alasan untuk mewajibkan polisi memanggil paksa orang-orang yang dipanggil DPR.
Apakah DPR begitu terhormat sehingga proses hukumnya harus dimulai dengan proses etik di MKD lalu dilanjut dengan izin presiden sebelum bisa dipanggil oleh penegak hukum?
Dan satu hal yang bikin geleng kepala, siapa saja pihak di luar DPR yang diajak diskusi membahas pasal2 tersebut? Kok tahu-tahu ketok palu dan bikin heboh negeri para koruptor ini.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, DPR seakan menutupi pembahasan sejumlah pasal yang membuat mereka kian tak tersentuh tersebut dengan alasan hanya merevisi penambahan jumlah Pimpinan.
Saya masih yakin demokrasi dibuat untuk menghasilkan kekuasaan yang melindungi rakyat. Bukan untuk melindungi kekuasaan itu sendiri.
Gimana dengan para sobat? Menolak atau menerima Revisi UU MD3?
Silakan sampaikan sikap teman-teman di kolom komentar....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H