"Terima kasih, Iskandar. Anda telah membuat pekerjaan ini terlihat mudah," kata Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG), Henny Supolo Sitepu, sambil menjabat tangan saya, Sabtu (9/12) lalu. Saya menyambutnya dengan perasaan senang sekaligus lega.
Ungkapan plus apresiasi itu diungkapkan Henny usai penutupan Sekolah Guru Kebinekaan 2017 sekaligus peluncuran buku SGK 2017 di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Saya diundang hadir sebagai editor buku tersebut, yang pada sampulnya saya berikan judul "Berguru, Berbaur, Bersatu".
Sejujurnya, baru sekali ini saya terlibat dalam kegiatan yang dimotori oleh YCG. Sosok Mbak Henny yang pernah terlibat dalam pendirian sekolah Islam Al Izhar juga baru saya kenal dekat dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Apatah lagi sekolah kebinekaan untuk para guru yang dimotori YCG. Namanya baru saya dengar awal November lalu.
Semua bermula saat Wrenges Widyastuti dari YCG menghubungi saya via WhatsApp. Kebetulan, di ajang Kompasianival 2017 Oktober lalu, dia ikut sesi pelatihan eksklusif "Creative Writing" bersama saya di Lippo Mall Kemang. Lewat komunikasi pertama itu, Mbak Wrenges meminta kesediaan saya untuk mengisi materi pelatihan menulis buat 'para murid' di SGK 2017.
Dari namanya, peserta dan materi sekolah ini mudah ditebak. Sekolah Guru Kebinekaan merupakan program khusus buat para guru yang dikemas dalam bentuk sekolah berdurasi satu semester. Hadirnya sekolah yang mendapat dukungan dari Kemdikbud ini tak lepas dari kegiatan inti YCG dalam meningkatkan profesionalitas para pendidik. Dan sejak enam tahun terakhir, yayasan ini fokus menguatkan wawasan kebinekaan dan keragaman para guru, salah satunya diwujudkan dengan membuat program SGK pada tahun 2016.
Tahun ini, kegiatan belajar SGK 2017 digelar dua kali sebulan, yaitu setiap Sabtu minggu pertama dan ketiga, menempati Ruang Kuliah Perpustakaan Kemdikbud di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap hari, minimal satu orang narasumber menyampaikan materi selama lima jam, mulai dari pukul 8 pagi sampai 3 sore. Saya sendiri mengisi materi penulisan di pertemuan ke-13 pada tanggal 11 November lalu.
Selain belajar di ruangan, para peserta juga melakukan simulasi, permainan dan kunjungan ke beberapa tempat ibadah dan melihat aksi sosial yang berhubungan dengan keragaman.
Para guru yang menjadi peserta program pendidikan intensif ini berasal dari beragam sekolah di Jabodetabek dan Jawa Barat. Mereka dipilih dari seratus lebih calon peserta yang mendaftar secara online, dan mulai aktif belajar sejak Mei 2017 lalu.