Dulu, akademisi dan praktisi memaknai literasi media atau media literacy sebagai pengetahuan dan kemampuan dalam memahami, menganalisis dan mendekonstruksi pencitraan media.Â
Yang dimaksud media di sini, tidak lain dan tidak bukan, adalah produk pers (penyiaran berita atau informasi melalui koran, majalah, radio dan televisi).Â
Dulu, selain produk pers tidak didefinisikan sebagai media. Kalau orang menyebut kata media, berarti yang dimaksud adalah produk yang dikelola oleh para jurnalis yang pekerjaan hariannya mengumpulkan dan membuat berita untuk ditayangkan di koran dan sebagainya. Bahkan buku dan film nyaris tidak dikenal sebagai media.Â
Dari situ kemudian muncul istilah-istilah turunan dalam percakapan sehari-hari. Semisal "orang media", "diliput media", "konglomerat media" dan sejenisnya. Media mewakili pers dan jurnalistik. Media menjadi satu-satunya sumber informasi paling aktual.Â
Tapi itu dulu. Dulu sekali. Sebelum kita rajin mengetuk-ngetukkan jempol di layar ponsel.Â
Di era digital saat ini, istilah media, mau tidak mau, perlu didefinisi ulang. Apa yang terjadi di era terdulu sama sekali berbeda. Teknologi informasi dan komunikasi terus berevolusi. Membawa manusia ke zaman Web 3.0, di mana semua urusan informasi dan komunikasi selesai di layar ponsel.
Baca juga:Â Alasan Ngeblog #1: Dari Narsis Bro sampai Eksis Pro
Pakem bahwa media=pers sesungguhnya tidak berlaku lagi saat masyarakat pengguna internet mulai mengenal istilah media sosial (social media) di awal tahun 2000-an. Tapi dinamika yang berlangsung sepanjang belasan tahun terakhir tidak serta-merta menempatkan istilah medsos sebagai bagian dari istilah media yang selama ini dikenal.Â
Mengapa? Karena sedari awal menggunakan media sosial, masyarakat langsung memaknainya sebagai website atau aplikasi ponsel yang interaktif, di mana mereka bebas menempatkan konten yang diinginkan.
Dari situlah kemudian kamus besar kita (baca: KBBI) mendefinisikan media sosial sebagai: "laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna membuat atau membagikan isi atau terlibat dalam jaringan sosial". Yup! Gak ada kata kunci 'media' dalam definisi tersebut.
Selain itu, dari sisi konten, apa yang diproduksi para pengguna media sosial tidak bisa disamakan kualitasnya dengan yang diproduksi oleh insan pers. Bahkan sampai hari ini masih ada jurnalis atau "orang media" yang masih menganggap media sosial sebagai tempat sampah. Lebih banyak noise yang beredar dibandingkan voice yang dibutuhkan, begitu kata mereka.