Diberitakan, Jokowi tidak tahu-menahu perihal berdirinya gerakan pemenangan "Posko Center Rakyat Jokowi for President" di Jalan Diponegoro, Menteng Jakarta. Saat dikonfirmasi, dirinya malah balik bertanya apa dan di mana posko itu berada. Meskipun posko itu didirikan tanpa sepengetahuan dirinya, dia mengaku tidak bisa membubarkannya karena itu aspirasi politik masyarakat yang tidak boleh dipasung. "Lha gimana mau nutup. Itu kan masyarakat kok saya melarang," katanya, seperti dikutip Merdeka.com.
Tapi apakah benar Jokowi tidak tahu, atau dia pura-pura tidak tahu?
Tulisan ini tidak sedang mengulas jawaban mendalam atas pertanyaan kritis di atas. Tapi akan berisi paparan bagaimana cara politisi merespon berita di atas, andaikan--sekali lagi andaikan-- ternyata Jokowi berbohong.
Sebagai politisi andal yang tahu persis seluk-beluk percakapan dan peredaran opini di dunia maya, dia punya pilihan untuk tidak menelepon wartawan atau menggelar konferensi pers dalam rangka menyebar 'gosip' berdasarkan informasi yang validitasnya belum genap seratus persen. Kecuali si politisi tahu persis hubungan antara pendirian posko, orang-orang di balik layar dan peran serta posisinya dalam lingkar Jokowi, pernyataan sejenis "kayaknya Jokowi adalah otak di balik berdirinya posko itu" terdengar konyol karena akan langsung mendapat reaksi keras dari politisi lain.
Untuk kasus Jokowi, yang paling ditakutkan mungkin bukan adu-mulut antar politisi, tapi serangan dari masyarakat, dalam hal ini masyarakat pengguna internet, yang sudah kadung jatuh cinta (karena sudah lama merindukan) ama sosok Jokowi. Untuk itu, maksud saya, untuk mengantisipasi reaksi masif dari rakyat, diperlukan mulut rakyat.
Konsepnya bukan politik 'adu domba', tapi politik 'biarkan warga yang bicara'. Sepanjang itu omongan warga, maka konsekuensinya lebih ringan bila omongannya tidak valid alias mengandung fitnah. Netizen (masyarakat internet) akan lebih mudah memahami kecerobohan rakyat biasa dibandingkan asal tuding seorang politisi. Yah, namanya juga rakyat. Begitu kurang-lebih pemafhuman yang akan muncul. Sebaliknya, dengan menggunakan cap omongan warga, sebuah pernyataan yang valid akan memberikan efek viral yang lebih cepat dan dampak yang lebih besar. Rakyat dianggap punya ketulusan yang lebih besar. Punya kepentingan politik yang lebih kecil. Dan lebih mewakili rakyat lainnya.
Tiga modal itu, di era korupsi saat ini, tidak mudah dikantongi oleh para politisi. Teknisnya, ketika Anda sebagai politisi ingin mementahkan pernyataan Jokowi yang Anda yakini sebagai bagian dari strategi pencitraan gaya baru, Anda tinggal menghubungi orang yang mempunyai pengaruh kuat di kalangan pengguna Internet. Atau kalau mau praktis, buatlah akun anonim, lalu sebarkan info itu seakan Anda orang awam yang tidak punya kepentingan politik saat menyebarkan informasi itu di dunia maya.
Itulah salah satu item pekerjaan yang dilakukan agen pencitraan yang lebih dikenal dengan istilah 'spin doctor' alias orang yang mampu memutarbalikkan opini atau citra di kalangan masyarakat terhadap seseorang atau sebuah institusi politik.
Saya pernah ditanya oleh wartawan Metro TV apakah di Kompasiana ada praktek 'spin doctor'. Saya jawab, boleh jadi ada, karena salah satu topik obrolan di media warga ini adalah obrolan seputar politik. Tapi apakah saya bisa tahu mana agen politik dan mana warga biasa, tentu saya tidak bisa mengidentifikasi pengguna sedetil itu karena sama sekali tidak ada data kajiannya. Yang bisa dilihat dalam peredaran opini di sini adalah adanya satu kelompok pendukung, bertemu dengan kelompok pendukung lainnya.
Pro kontra dalam menyikapi sebuah isu, polemik, sampai musibah politik (termasuk di dalamnya pemberian gelar tersangka korupsi oleh KPK) selalu terjadi di Kompasiana. Dinamika tersebut menarik perhatian banyak orang, termasuk seorang analis politik dari pemerintahan Amerika Serikat yang satu hari mengundang saya untuk ngobrol seputar perkembangan media sosial dan hubungannya dengan hiruk-pikuk politik jelang Pemilu 2014.
Tapi penerapan strategi politik semacam itu tidak selamanya berjalan mulus. Dan Anda jangan pernah berpikir bahwa tidak akan ada yang bisa membongkar identitas di balik akun anonim atau akun palsu. Harap dicatat bahwa interaksi di dunia maya adalah interaksi jarak jauh. Interaksi tanpa wajah. Anda tidak akan bisa menebak dengan tepat kapasitas dan kapabilitas pemilik akun yang menyerang atau mendukung artikel yang Anda atau orang suruhan Anda buat. Mereka bisa jadi mahasiswa biasa, programmer, polisi, atau malah politisi lain yang sedang mencoba mementahkan serangan Anda terhadap Jokowi.
Kendati demikian, strategi ini sudah banyak digunakan oleh para politisi dan agen-agennya yang sudah menguasai media sosial dan tahu bagaimana menggunakannya sebagai bagian dari strategi kampanye jelang pemilu. Meskipun media massa masih dianggap sebagai corong penting untuk menyebarkan informasi dan propaganda politik, media sosial telah diposisikan sebagai wadah baru yang langsung menembus kumpulan akar rumput di jagat maya Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H