[caption id="attachment_201523" align="aligncenter" width="464" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS Images/Syahrul Hidayat)"][/caption] Kalau dilihat dari luar, Islam itu bisa dibilang agama paling ribet dan ribut. Selalu saja ada perbedaan dan perselisihan. Mulai dari soal ilahiyyah sampai urusan ubudiyyah. Mulai dari soal qadha dan qadar, sampai tata cara shalat. Bahkan untuk urusan ibadah tahunan, tidak pernah ada kata sepakat. Salah satunya, terkait penetapan hari pertama puasa dan hari terakhir puasa. Perbedaan ini bukanlah hal remeh-temeh. Bahkan paling krusial dalam konteks menjalankan rukun Islam ketiga. Pasalnya, hukum dasar dari ibadah adalah haram. Kalau kita beribadah di luar ketentuan, tidak hanya batal demi hukum syar'i, tapi bisa terkena dosa karena melakukan hal yang haram. Contohnya shalat. Shalat Isya baru wajib dijalankan ketika sudah tiba waktu Isya. Kalau shalat Isya dijalankan di pagi hari, jelas haram hukumnya! Makanya tidak ada cerita muslim menjalankan shalat lima waktu dalam satu waktu. Atau menggabungkan shalat selama seminggu di hari Senin, misalnya. Begitu juga dengan puasa wajib di bulan Ramadhan. Kalau muslim tidak puasa padahal dia sadar sedang berada di bulan Ramadhan, maka dosa baginya. Sebaliknya, ketika dia puasa pada tanggal 1 Syawwal yang diharamkan puasa, dosa juga baginya. Itulah yang kemudian menjadikan ummat Islam selalu resah setiap kali Ramadhan tiba. Pemerintah yang bertugas menentukan awal Ramadhan (dan wajib diikuti keputusan oleh ummat), hingga saat ini, belum mampu menyatukan penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawwal. Kejadian ironis ini selalu berulang setiap tahun: ketika pemerintah sedang menggelar sidang penetapan, komunitas muslim lain sudah menjalankan ibadah puasa. Dan ketika ummat Islam lain masih berpuasa, tetangganya berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat Idul Fitri. Tidakkah kita resah melihat muslim berpuasa di hari diharamkannya puasa, sementara muslim lain tidak berpuasa di hari diwajibkannya puasa? Selazimnya, hal itu tidak membuat kita resah apalagi mencap orang lain dengan kata-kata salah, bodoh, tidak sah atau melanggar syariah. Sepanjang ibadah dilakukan atas dasar keyakinan dan keyakinan itu terbentuk karena ilmu dan ittiba' yang benar, maka sepatutnya kita semua saling menghormati-bukan menghakimi. Tapi, pertanyaan "apa enggak bisa sekali-kali semua muslim di Indonesia mulai berpuasa di hari yang sama dan mengakhirinya di hari yang sama" tetap harus jadi perhatian semua orang, khususnya pemerintah, ulama dan para ahli di bidang falak. Yang pasti, saya bukanlah ahli di bidangnya. Tapi setelah membaca satu artikel di harian Kompas (Kamis, 19 Juli 2012 hal 13) berjudul "Kriteria Hilal Belum Disepakati", saya jadi maklum mengapa perbedaan itu selalu terjadi. Ditambah ilmu falak yang pernah saya dapat waktu kuliah di UIN Jakarta, plus praktek melihat hilal di Pelabuhan Ratu, saya pun mafhum mengapa hingga saat ini belum ada definisi tunggal soal hilal yang dapat dijadikan patokan oleh semua pihak. Musyawarah Lebih Intensif Perbedaannya memang selalu berpusat antara hisab (penghitungan) dan rukyat (penglihatan). Ada yang berpendapat hisab sudah cukup, teknologi canggih semestinya mempermudah apa yang sebelumnya sulit. Tapi ada juga yang berpendapat, pengamatan hilal penting untuk memverifikasi perhitungan (hisab) yang sudah dilakukan, demikian Ahmad Izzudin, Ketua Umum Asosiasi Dosen Falak Indonesia, seperti dikutip KOMPAS. Tapi saya melihat ada celah yang bisa menyatukan antara perbedaan landasan penetapan hilal. Celah yang dimaksud tentu bukan kompromi antara satu kelompok dengan kelompok lain, dengan cara menyerahkan penetapan hilal secara bergantian. Celahnya adalah dengan menggelar sidang isbat secara maraton, misalnya selama seminggu terakhir bulan Sya'ban-atau lebih lama lagi. Bukan sekali dan di ujung Sya'ban. Pemerintah Indonesia harus benar-benar bisa belajar dari negara lain dalam mencari kata mufakat. Bila selama ini pemerintah Indonesia melakukan verifikasi mendalam terhadap perhitungan hilal, proses ini tetaplah dilakukan. Tapi proses verifikasi juga hendaknya dilakukan dengan melibatkan semua unsur dan organisasi yang ada, sehingga semua ummat muslim di negeri benar-benar terwakili. Mari kita lihat Arab Saudi. Jarang sekali terdengar adanya perbedaan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal di sana. Tapi apakah perbedaan dimaksud, setidaknya dalam proses penetapannya, benar-benar tidak terjadi? Mari kita simak apa yang ditulis M Zaid Wahyudi di Harian Kompas:
"Dengan wujudul hilal, 1 Ramadhan Arab Saudi juga akan jatuh pada hari Jumat. Namun, jika mengacu pada rukyat, seharusnya puasa akan dimulai hari Sabtu karena tinggi hilal di Mekkah saat matahari terbenam 1,2 derajat."
Artinya, dengan mengacu ke kriteria Majelis Agama Brunei, indonesia, Malaysia dan Singapura, perhitungan hilal yang dijadikan patokan Arab Saudi tidak sesuai dengan kriteria hilal yang mensyaratkan hilal dapat dilihat jika tingginya minimal dua derajat. Tapi toh ternyata Arab Saudi, seperti diumumkan anggota Dewan Ulama senior Kerajaan Arab Saudi, Sheikh Abdullah Al-Manie, tetap memutuskan puasa dimulai Jumat besok (20/7), sementara Hari Raya Idul Fitri pada Jumat, 19 Agustus. Sejak 3 Juli 2012 lalu, pemerintah Arab Saudi juga sudah mengumumkan penetapan Hari Arafah, dengan tujuan agar ada cukup waktu untuk mendiskusikan hal yang berkaitan dengan penampakan bulan baru, demikian laporan koran lokal, seperti dikutip Republika Online. Bagaimana pengumuman itu dihasilkan, itulah tugas pemerintah untuk mencari tahu jawabannya. Jadi, kalau bisa dimusyawarahkan secara lebih seksama, kita tidak perlu lagi melihat perbedaan yang mudah-mudahan bisa dipersamakan. Wallahu a'lam bil-showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H