Hari ini saya sholat jumat di Pacific Place, tempat Munas Kedua PKS yang sedang berlangsung hingga 20 Juni 2010 nanti. Jamaah shalat mayoritas kader PKS dan simpatisan munas. Tapi selazimnya pelaksanaan shalat Jumat di mall, Jumatan yang diadakan di basement 2 PP ini tentu terbuka untuk umum. Setiap pengunjung mall atau siapapun bebas mengikuti shalat yang diawali dengan khutbah Jumat.
Dalam syariat Islam, khutbah sebelum shalat menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah shalat Jumat. Jamaah wajib mendengarkannya dan tidak boleh berbicara dengan orang lain selama khatib menyampaikan ceramah. Isi khutbah adalah siraman rohani, pembekalan bagi hati agar kembali mengingat, bersyukur dan bertafakkur di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Saat menuju tempat wudhu, khatib sedang menyampaikan sambutan. Sekilas saya mendengar kata PKS keluar dari mulut khatib. Hati saya membatin, mengapa ada merek partai dalam khutbah Jumat. O, wajarlah, mungkin khatib sedang menyapa ribuan peserta Munas yang menjadi jamaah shalat.
Tapi setelah duduk menyimak khutbah, semakin banyak kata PKS yang diucapkan. Tidak lagi dalam konteks sapaan, tapi isi khutbah memang diarahkan untuk siraman rohani para peserta Munas yang tak lain kader PKS. Bahkan sang khatib juga membahas soal kepanitiaan Munas dan menyinggung soal penyelenggaraan munas di hotel yang dianggap terlalu mewah.
Saya lalu teringat testimoni seorang kader partai beberapa tahun lalu yang menceritakan program pengkaderan partai yang antara lain dilakukan dalam bentuk pembekalan mingguan di kantor pusat PKS. Sebuah program yang sangat positif dalam rangka membina mental dan akhlak anggota dan petinggi partai. Mungkin materi pembekalannya kurang lebih sama dengan yang saya dengar tadi pagi.
Semakin lama menyimak khutbah Jumat, saya seakan berada di tengah-tengah acara pembekalan kader PKS. Padahal jelas-jelas jamaah Jumat tidak hanya dipenuhi oleh kader PKS atau peserta Munas PKS. Banyak orang lain yang bergabung menunaikan shalat Jumat. Saya pun semakin sulit memahami logika khatib saat menganggap semua jamaah di depannya berasal dari satu partai yang sama.
Lagi pula, ini kan bukan acara partai. Ini adalah ritual keagamaan yang seharusnya terbebas dari merek-merek duniawi seperti partai, perusahaan, makanan atau minuman. Yang dibutuhkan oleh jamaah adalah kalimat peneduh hati yang mengingatkan kembali kedudukan manusia sebagai makhluk yang lemah di hadapan Tuhannya dan tidak punya alasan sedikitpun untuk menyombongkan diri di muka bumi.
Usai shalat Jumat, saya masih bertanya-tanya dalam hati, apakah sikap khotib dan pemilihan tema serta materi khutbah tadi bisa dianggap wajar dan pantas untuk satu alasan?
Mungkin teman-teman Kompasianer bisa membantu saya menemukan jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H