[caption caption="Pak Kasman dan Kibagus korban Pembodohan"][/caption]
Menguak kembali Pancasila menurut metodelogi pra kemerdekaan, maka sesungguhnya aliansi kebangsaan mengakui Pancasila adalah produk Tauhid yang tinggi yang menempatkan kedudukan Tuhan tidak tertandingi oleh siapapun dari kalangan ciptaannya. Tentu beda dengan kemampuan manusia yang merancang mobil atau kendaraam lainnya, tidak otomatis termasuk orang hebat karena penciptanya bisa mati dalam mobil ciptaannya sendiri.
Kedudukan uluhiyah [keesaan] Tuhan berada pada urut teratas atau urut satu dari Pancasila memiiliki standar sakral yang tidak bisa ditafsirkan adanya “tuhan Majmu” atau serikat Tuhan yang biasa diorbitkan kalangan filsafat paganis, yang indoktrinisasi adanya persenyawaan antara Tuhan dan Tuhan lainnya, atau kerjasama para Tuhan yang melibatkan tuhan tuhan alternatif yang bisa ditemukan dalam imajinasi manusia.
Tetapi nilai ketuhanan dalam Pancasila adalah mengukuhkan martabat dan kedudukan Tuhan yang tidak terdingin oleh siapapun, karena keesaannya yang sempurna, hanya layak dimiliki Tuhan tanpa tanding, bukan tuhan yang saling iri dan saling mencari jati diri.
Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:
“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut). Isyarat dan pengakauan Pater ini nyata memberikan masukan tegas yang memisahkan antara Tuhan palsu buatan dan Tuhan Benar yang layak dituhankan. Pengakuan bahwa Tuhan itu esa, adalah esa segalanya, tanpa tanding, bersih dari tuduhan berkomplot dengan Tuhan lain.
Tetapi pernyataan Pater Beek, dapat disinyalir sebagai persentasi dari judul tulisan “ Larut Tetapi Tidak Hanyut”, menempatkan tulisannya senyawa dengan fenomena ketuhanan yang konstruktif dalam wilayah pemahaman Katholik. Karena disisi lain terdapat pendapat memisahkan tuhan dari agama, dengan menunjolkan pengakuan keesaan tuhan, tetapi menjadi tuhan yang tak beragama, tuhan menurut konsep teoiritis kepercayaan yang tendensius tidak memerlukan agama.
Sebagaimana pernyataannya:” Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, “Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila”, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Turun menurut konsep kepercayaan terbentuk dari angan angan dan keyakinan, cukup implementasi rasa yakin bahwa Tuhan itu ada dan esa, tidak memrlukan berita dari langit apalagi Nabi. Ini sebuah teori mengajawantahkan ketuhanan Pancasila dalam refleksi pemikiran tiap mufasir pancasila yang terlibat diskusi, siapa Tuhan Yang Maha Esa dari sila pertama Pancasila. Sehingga penghapusan tujuh kata pancasila adalah mutlak bertujuan membawa pancasila pada sebuah doktrin bukan agama.
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, “Ketuhanan di Indonesia” (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35)
Lontaran pemahaman pancasila sila pertama dalam rangka penghapusan tujuh kata nyata sebuah keharusan bagi mereka yang anti agama, siapapun mereka, karena memunculkan gaya pemhaman yang berbeda dalam menambatkan agama sebagai media ketuhanan yang Maha Esa, disamping menghilangkan keraguan mereka, bahwa selain Islam punya hak menempati posisi bangsa yang sama, tanpa membedakan antara yang tidak beragama dan beragama. Pada konsep pemikiran bertuhan tanpa agama ini menekankan pentingnya adanya Tuhan sebatas refleksi keyakinan, bukan jabatan Tuhan Yang Maha Esa menurut yang dilahirkan agama. Tak perlu nabi dan rasul, tak peru ulama dan retualitas, yang penting menerapkan Tuhan itu ada dan Esa.
Sebagaimana golongan eling atau Murjiah yang tidak memerlukan agama berada diatas pernyataan dan amal, maka Panacasila dalam prinsip Elingologi juga mementaskan Tuhan itu tidak perlu perangkat, Malaikat dan bala tentaranya yang lain, apalagi kitab kitab suci sebagai landasan beragama, bukanlah esensi dari agama kepercayaan ini yang menolak konsep agama tanpa Nabi.
Sebenarnya orang yang pertama kali getol melakukan lobi dan meng-asumsikan Ketuhanan Yang Maha Esa itu kalimat tujuh kata, adalah Hatta, mengajak tiap orang bisa menerima Pancasila dengan seruan , bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Penyedap seperti rasa seperti inilah yang melahirkan sikap bulat tekad mencabut kalimat “dengan menjalankan Syariat Islam dari pancasila”.
Prof. Kasman Singodimedjo [Saksi Sejarah], menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125. Ini pula yang menjadi landasan Pak Kasman melakukan bujukan kepada Ki Bagus, agar bisa berjiwa besar dan menerima Pancasila tanpa tujuh kata.
Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. ( Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005). Bahwa memang ada langkah dramatis mengganti Pancasila yang seutuhnya menjadi pancasila yang sekarang ini dan digagas demi membendung arus pemikiran bahwa ketuhanan yang maha esa itu sudah cukup, karena kontribusi tauhid murni ssebagaimana dilontarkan Bapak Headar Nashir dalam acara penyematan kepahlawanan Ki Bagus di Gedung dakwah Muhammaadiyah.