Mohon tunggu...
Zulkarnain El Madury
Zulkarnain El Madury Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Madura pada tahun 1963,
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang pemburu kebenaran yang tak pernah puas hanya dengan " katanya". Adalah Da'i Pimpinan Pusat Muhammadiyah peeriode 1990 sd 2007, selanjutnya sebagai sekjen koepas (Komite pembela ahlul bait dan sahabat) hingga 2018, sebagai Majelis Tabligh/Tarjih PC. Muhammadiyah Pondok Gede, Sebagai Bidang Dakwah KNAP 2016 -219 . Da'i Muhammadiyah di Seluruh Tanah air dan negeri Jiran ..pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia), Tinggal dijakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jahmiyah Abad Moderen

24 Agustus 2016   15:44 Diperbarui: 24 Agustus 2016   15:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bila mengikuti diskusi antar kelompok Muslim di Negara ini, ada gambaran mereka sedang kongsi perpecahan, membentuk kelompok kelompok yang saling anti dan menanamkan bibit ketidak-percayaan bersama, pada ajaran agama yang dianutnya. Masalah serius yang menimpa mereka adalah karena adanya pergaulan pemikiran dari refrensi yang berbeda atau saling bertolak belakang, meskipun dari satu rumpun ajaran yang sama. Misalnya sempalan pemikiran Asy'ariyah dan sempalan sempalan lainnya, menjadi kamus yang mendekte Islam harus berada di persimpangan jalan. Misalnya landasan pacu pemahaman yang mengusung aliran masing masing telah menimbulkan selera untuk saling menyalahkan dan klaim benar.

Diantara kelompok yang paling berhasil adalah Jahmiyah yang didirikan oleh Abu sofyan bin Jahmi, mampu mewariskan watak keras dan arogan menyempal setiap pemahaman yang bertolak belakang, semisal yang terjadi dalam Ilmu kalam atau teologi, kontribusi Jahmiyah ini berhasil menarik simpati banyak umat bergabung di dalamnya, dengan merobah arah ilmu kalam dari tauhd standar Dhohir, menjadi standar rincian, dengan merinci sesuatu yang tidak boleh dirinci. misalnya kata "Istiwa" yang diartikan "semayam" , mengundang cara mereka berpikir, "lah kata semayam itu sifatnya kan makhluqiyah". atau ketika diangkat kata "duduk" , berpikirlah mereka kalau duduk adalah mereka "makhluq". Dengan ayat yang maknanya "  Allah tidak membutuhkan alam", menjadi standar berpikir mereka kalau makhluq-Nya tidak layak ditempati Tuhan.

Dialog ratusan tahun yang silam ini muncul kembali , menjadi degelan pemikiran sekelompok manusia yang bernama Jahmiyah, mereka yang berbicara "kalau dan kalau" atau "seandainya dan seandainya" tuhan bisa duduk bukanlah tuhan tapi makhluq. ini pemikiran Jahmiyah yang mengusung perdebatan silam dihidupkan kembali untuk kepentingan politik agama. Jadi dalam pandangan mereka Tuhan dipagari dengan berbagai kewajiban buat tuhan, pertama agar Tuhan tidak boleh duduk, tidak boleh turun dan tidak boleh berbicara, serta tidak boleh memiliki tangan, tidak boleh memiliki kaki, tidak boleh ciri ciri yang biasa disebutkan pada manusia, kalau hal itu dilakukan, menurut mereka, berarti dia bukan tuhan tetapi makhluq.

Sehingga Jahmiyah moderen ini mencoba bikin makna baru terhadap ayat ayat dzahir yang biasa disebutkan kepada manusia dengan makna makna majas yang seharusnya tidak dilakukan mereka, memang niat mereka berusaha mensucikan Allah dari tuduhan makhluq, sehingga menggagas Allah sebagai orang buntung, diam dan tidak bergerak, ini kan sama sama menyerupakan Allah dengan patung, bahkan lebih para dari patung, karena mereka telah meniadakan mata Allah, kaki Allah, Shurat Allah, bahkan Allah tidak berbentuk. gambaran tuhan yang tidak memiliki kemampuan apa apa. ini sungguh sangat membahayakan, takwil yang memaksa pikiran mereka harus bersinergi untuk membuat gambaran tuhan yangh tidak memiliki sifat sifat dzat, dengan menampilkan tuhan yang sekedar dari rumusan asy'ariyah, sifat Allah 20 yang marak dalam dunia pendidikan agama Islam, padahal bukan konsumsi agama, hanya sekedar produk mereka yang meniadakan Tuhan dengan cara menghilangkan yang terkesan zahiri. Amun ya Allah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun