Hukum yang sangat rasis ini diciptakan polri yang lebih dominan untuk disebut rasialis sejati dalam mengeluarkan hukum, tampak perlakuan tidak adil, bahkan anarkhis hukum dalam upaya menyudutkan seseorang Buni sebagai tersangka, bukan sebuah obyektivitas proses hukum yang positif, ada subyektivitas yang viral di masyarakat, seolah masyarakat paham prilaku kepolisian, ketika mengusik Buni harus menjadi tersangka. Langkah dramatis polri ini lebih mantap disebut artikulasi dari sebagai pro Ahok anti Buni, dengan sekedar tafsiran pasal pasal tuduhan yang sangat subyektif diperlakukan kepada rakyat tertindas dan terkucil dari hirup pikuk birokrasi.Â
Kerja aparat berwajib menjatuhkan Ahok sebagai tersangka, masih sangat membutuhkan mesin rakyat, agar polri bisa menjatuhkan palu tersangka pada, berbagai jawara ilmu dari berbagai disiplin ilmu harus diterjunkan dilapangan gelar perkara, harus mendatangkan jutaan orang dari seluruh negara, namun demikian sekalipun tersangka, ahok harus berkeliaran bebas di bumi pertiwi ini. Disudut jalan tanpa gelar perkara, tanpa mesin lokomotif rakyat, tanpa demo , hanya bermodalkan laporan para pendukung Ahok, Polri mudah menjatuhkan isyarat tangkap buni, ini sebuah kedaliman besar dinegeri ini yang berpihak pada kepentingan politik bukan lagi obyektivitas polri, karena sebelum menjatuhkan proses tersangka kepada Ahok, banyak petinggi polri yang sumbang seperti teripnotis Ahok, misalnya seperti Bapak Boy Rafli yang melontarkan kata fitnah Buni, terkesan sudah ada garapan awal untuk mempertersangkakan Buni, tidaklah demikian pada Ahok...seperti pahlawan di Mabes Polri, meskipun tersangka, seperti kacung yang ketakutan untuk menangkap Ahok.
Failur hukum yang condong kontrasepsi anti keadilan, lebih memberi angin segar , memuaskan ibu suri agar tidak marah, dengan harapan anaknya bisa terus berlaga dalam arena rebut kursi panas kursi DKI. Ini membias pada refleksi polri yang lebih mendadani Ahok untuk bebas bernafas lega diluar penjara, dengan dalih cukup koporatif , pertanyaannya apakah mereka yang ditahan dari para tersangka semuanya tidak koporatif, yang koporatif hanya Ahok saja, tentu ini hanya sebuah pola bagaiamana Ahok tetap bebas. Â sedangkan para tersangka lain yang mudah di cobloskan dibalik jeruji besi, lebih mencerminkan sebuah aksi solidaritas untuk ahok dan aksi rivalisme kepada yang anti ahok. konsep proses hukum terbalik ini sangat bernuansa ketidak-adilan yang semestinya malu pada pernyataan simbol simbol kerakyatan kepolisian, misalnya : "polri adalah pelayan Masyarakat". nah kalau sudah tidak mampu memenjarakan Ahok, masih bisakah Polri disebut pelayan masyarakat, atau polri pelayan penguasa saja ?. .. salam damai pak Polri ...... ini lirik lagu Oma Irama : *YANG BENAR DIPENJARA YANG SALAH DIPENJARA*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H