" Aku bangga dengannya, setia berbagi suka dan duka, siang dan malam dalam sebuah rindu. Tiada belaian kasih selembut dirinya, seindah kemesrahannya dan keanggunananya, melainkan dia yang rela meninggalkan kota kelahiran dan keluarga, hanya demi aku. Lalu bersama mendayung mesra di rantau orang, di sebuah desa terpencil, diatas bukit berdua hidup menebang bencana yang datang menerpa dari kiri dan kanan.
Hingga kini nyanyian rindu tak kunjung sirna, semuanya dalam bayangan malam dan siang, menayangkan kisah kisah manis dan pahit sepanjang jalan. Ludoyo, sebuah kecamatan di Blitar, kuburan Bung Karno, dan Laut Pantai Selatan adalah jejak yang tak terlupakan. Aplagi "Gong Mbah Prada", perayaaan ritual kaum kawula, para pemuja arwah, membuat ingatan kita tetap basah.
Disana di desa Sumber Glagah, juga tak terlupakan tragedi orang orang kampung yang tertegun lata menatap pasangan yang merambah dakwah. Kamu dengan dongeng mereka tentang canda kita dan luapan amarah mereka, karena kita ngoceh sebuah jalan lapang menuju surga.
Pak Kades, seorang banyak membantu kita, ikut sedih membaca lomba bencana yang silih berganti melanda siang dan malam kita. Haru tak pernah sirna, seiring ingatan yang tak pernah hilang pada kelembutan hati pak Gatot dan istrinya yang mendaulat kita sebagai sosok yang agung dan jalan mereka yang lurus. Terurai air mata Ibu Luriyah, pada saat duka itu melanda.
Ada pemberontakan batin yang terpasung dalam resah dan gelisah karena salah yang terhampar sebagai lantai kebenaran. Anak anak desa itu menjadi berang karena kita jadi idola, mengapa tidak putra mereka, gumannya mereka mendongkol.
Tapi hati kita terlalu suci untuk beranggapan mereka bersalah, karena desa itu adalah wilayah yang pengap dari keramaian, jauh dari udara segar dan para penasehat batin. Namun tidak membuat kita redup mejadi lentera mereka'
Lalu kita hijrah, meninggalkan kenangan, menuju dunia baru dengan pasrah, sambil melihat asap motor tua kita ke pulau Sumatera. Kita melesat kencang, menembus gelapnya malam dan rimba yang membentang. Tak perduli suara gelap yang menakutkan, sepi yang mendebarkan. Malam dilintas Timur yang tidak mengenal kita dan kita tidak mengenalnya, tetapi membuai kita dengan dongeng dongeng indah diatar motor tua.
Wajah dan tubuh kita penuh debu dan bau yang menyengat, lantaran tak tertuang Air selama berhari hari di perjalanan. Akhirnya sampai juga di alamat tujuan, di daerah Unit 6 Kabupaten Tulang bawang. Kita mendulang dan mengadu nasib disana, sambil mendesah lirih, sejak kapan kita menjadi columbus ? sambil aku tersenyum.
berjuntai masalah datang menerpa, antara gembira dan duka menyatu menyebak perjalanan yang baru kita tata, bukankah itu semua rana hidup cinta kita ?
Namun istriku sayang, di hatimu masih bermimpi tentang masa lalu. pada saat hidupmu menghirup kota kelahiranmu. sayang kau hanya bisa resah dan gelisah, bermimpi siang malam hidup didesa permaimu yang tanpa bising, sedang kita ada di jantung kota bumi pertiwi.
Tataplah aku pada saat berbaring tidur, aku hanya seorang tua yang dengan segenggam cita melantai di bumi persada, menebar oretan oretan diatas kertas kerta yang tak bernyawa. Menuangkan kisah kisah dan peristiwa anak anak manusia, sembari memutar otak melampaui tujuh samudra, namun sayang, tiada bela sungkawa di hatimu dengan retaka retakan tuaku yang masih sangat kesatria.