Mohon tunggu...
Zulkarnain El Madury
Zulkarnain El Madury Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Madura pada tahun 1963,
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang pemburu kebenaran yang tak pernah puas hanya dengan " katanya". Adalah Da'i Pimpinan Pusat Muhammadiyah peeriode 1990 sd 2007, selanjutnya sebagai sekjen koepas (Komite pembela ahlul bait dan sahabat) hingga 2018, sebagai Majelis Tabligh/Tarjih PC. Muhammadiyah Pondok Gede, Sebagai Bidang Dakwah KNAP 2016 -219 . Da'i Muhammadiyah di Seluruh Tanah air dan negeri Jiran ..pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia), Tinggal dijakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Parlemen Tandingan Sampai Gubenur Tandingan

12 November 2014   16:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:59 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mau bicara konstitusi model apalagi di negeri ini, tampaknya sudah tidak perlu standar oprasional kenegaran lagi, yang penting "berkuasa dan menjadi penguasa". Tidak siapnya Koalisi Indonesia hebat [KIH} menjadi orang nomor satu di negeri ini sebagai bukti standar pemikiran KIH memang tidak hebat, tetapi justru menjadi lelucon rakyat dan menjadi panggung bualan rakyat, bahwa KIH adalah orang orang yang gila kekuasaan dan gamang kekuasaannya sirna begitu saja di meja sidang paripurna DPR.

Disisi lain ada kontruksi demokrasi tumpang tindih, tak lagi afiliatif pada kebersamaan membangun negara, melainkan demi kepentingan sesaat, yaitu sikap antagonis kelompok petualang politik dengan menawarkan gengsi kelompoknya, memaksakan kemuka umum dengan alasan konstitusi. Rakyat ditempatkan sebagai hamba hamba budak yang bodoh, yang cukup di ancam dengan pasal pelanggaran berpendapat,  jangan mengusik agama dan suku, padahal para pemimpin negeri ini paling demen membeda bedakan agama dengan suara minor yang dituhankan, bahwa minoritas punya hak suara, sambil tangannya menampar wajah wajah mayor, membungkam suara mayoritas.

Seorang Ahok yang tidak punya legal kepribadian bangsa yang tau sopan santun, terus saja di bela meskipun melunturkan budaya pancasila itu sendiri yang sangat menghargai sopan santun, Entah pancasila yang mana yang diamalkan Ahok, ketika menyepelekan kelompok Mayoritas. Ajian mumpung Ahok berkuasa, bukan saja menampilkan sosok arogan dan tidak tau sopan santun, ucapannya justru memunculkan kollaborasi Rasis yang tak sepantasnya muncul dari  retorika kebangsaan Indonesia.

Awal pemerintahan saja Ahok [ wakil Gubenur] sudah menghina Muhammadiyah dengan sebutan "Munafiq". Lah kini bersuara lantang menentang FPI, apa tidak pernah terlintas kalau Ahok sebenarnya berhadapan dengan kelompok Mayoritas, atau memang sebuah genderang yang ditabuh Ahok menuju perang yang lebih besar. Disinilah Ahok sebagai orang nomor "satu" menonjolkan ke Sombongannya . "Saya kan Gubenur, maka orang yang melawan/berhadapan dg saya harus Gubenur pula ,ketua FPI siapa, apa jabatannya ?" [ TV on, pagi jam 6 ,12/11/2014] . Nah itu ucapan Ahok dengan membusungkan dan medabik dada di depan Kamera TV.On yang meliputnya.

Kalau tidak ingin disebut ucapas ucapan seorang Rasialis yang menentang budaya pancasila, terus lebih pantasnya untuk seorang Ahok mau disebut apa, apa tidak terlalu rasialis kalau disebut budaya Cina ?, tidak ini tidak sejalan dengan budaya bangsa. Yang jelas budaya pancasila ternyata tidak banyak dipelajari oleh orang orang seperti Ahok, Ahok seolah hidup di negeri Cina, bukan hidup di negeri ini. Yang sekedar menjadikab ukuran kekuasaan untuk menghargai orang. Dinegeri cina sendiri masih punya rasa malu, kalau tidak disukai orang pemimpinnya langsung turun dari kursi kekuasaannya, di Singapura saja, budaya itu ada, tetapi seorang manusia tak punya malu, berkacak pinggang ditengah mayoritas yang santun dengan menambatkan budaya Ahok yang tidak santun

Wajar kalau kemudian perlu gubenur tandingan sebagai pelajaran kepada gubenur yang  tak pernah belajar, sekalipun melanggar konstitusi. terlebih negeri ini biasa hidup melanggar konstitusi dalam koalisi pertandingan, hingga DPR juga harus bertanding di senayan. bukan Indonesia Hebat, tetapi mereka adalah kelompok manusia yang tidak puas hanya dengan sekedar menjadi presiden. Padahal dulu di Amerika juga pernah Presidennya hanya di dukung dengan minoritas Suara, tetapi tak sampai pamer kekuatan Presiden dengan membentuk parlemen baru. Ini negara Indonesia lebih para dari demokrasi barat yang masih punya sopan santun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun