KAU terlalu lugu untuk memahami cinta. Cinta tidak bisa diwakili sekeranjang buah apel, jeruk, mangga dan durian, karena manis dan pahitnya berbeda. Rasa buah hanya dirasa indera perasa, sementara rasa cinta timbul dari palung hati paling dalam. Guncangannya sangat kuat.Â
"Kau hanya target pelampiasan syahwat kaum adam yang melihat kemolekan tubuhmu, kecantikan rupamu. Entah siapa nama lelaki itu," ujar Bunda Anya kepada Putri Anya, anak semata wayangnya sambil mengingat-ingat nama pacar Putri.Â
"Bunda," teriak Putri
Boleh saja engkau memiliki titel berderet di belakang namamu. Tapi bicara soal cinta, bunda tak akan kalah. Ingat anakku, kata bunda, engkau lahir dari rahim seorang perempuan yang pernah sangat picik memaknai cinta.Â
Tenggelam dalam kubangan puja-puji cinta. Terbuai rayuan lelaki berbisa. Sampai akhirnya menyerahkan kesucian di atas kasur butut kamar kost. Semuanya begitu indah pada awalnya.Â
"Menyakitkan pada akhirnya," kata bunda.
Jangan pernah lagi bicara soal cinta. Bicara saja soal berapa nilai rupiah yang akan diberikan dia sewaktu melamarmu. Kendaraan jenis apa yang berhasil dibeli dari hasil usahanya sendiri, berapa sering ia mengajak kamu makan, nonton dan belanja.
 Berapa sering kalian bicara tentang rumah idaman, berapa sering kalian pergi ibadah bersama, seberapa sering ia menjadi imam sholatmu, berapa sering ia menuntun kamu mengaji ilmu agama.
"Berapa sering engkau diajak bertemu keluarga besarnya," katanya.
 "Belum pernah sekalipun bunda," jawab Putri.
Engkau pasti menilai bunda materialistis, egois, picik, dangkal, licik serta segudang penilaian lainnya. Tapi bunda ingatkan Putri, engkau tidak bisa bertahan tanpa materi.