Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menelaah Maksud Surat Rafi Putra Baiq untuk Presiden

16 November 2018   09:26 Diperbarui: 16 November 2018   10:29 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca surat yang ditulis Rafi, putra Baiq Nuril, guru honorer asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang divonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta oleh Hakim Mahkamah Agung (MA) membuat bulu kuduk merinding.

Surat yang ditulis dengan menggunakan pulpen berwarna biru tersebut sangat ringkas, padat dan jelas. Karakter tulisannya pun sangat tidak beraturan layaknya anak kecil.

Dalam surat itu Rafi hanya minta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menyuruh ibunya sekolah lagi. Bukan minta diberi sepeda ataupun buku.

 Kepada Bapak Jokowi

Jangan suruh ibu saya sekolah lagi

Dari Rafi (sumber detik.com).

Menurut Pengacara Baiq Nuril, Joko Jumadi, Rafi sama sekali tidak mengetahui kasus yang dialami ibunya. Kali pertama Baiq Nuril dijadikan tersangka (2017) oleh pihak Kepolisian, ia ditahan. Ketika ditahan itulah Nuril mengaku kepada Rafi sedang sekolah.

Lantas mau kemana kita palingkan wajah kita ini setelah membaca surat dari Rafi. Ia masih kecil, masih rindu dekapan dan belaian kasih ibu. Kita memang bukan pemimpin republik ini, tapi kita bisa bersama-sama meminta keadilan untuk Baiq Nuril. Ingat, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Kita tidak sedang bicara elektoral. Apalagi bicara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Serahkan semua itu pada politisi. Kita hanya ingin hukum berpihak pada kebenaran mutlak. Berlandaskan hati nurani.

Mau berapa banyak lagi ibu yang memiliki anak kecil menjadi korban. Salahkah kita berkata Baiq Nuril tidak bersalah. Ia hanya merekam obrolan mesum sang kepala sekolah. Ia tidak menyebar obrolan tersebut.

Kepedulian kepada sesama merupakan keharusan bagi umat beragama, apakah ia beragama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha maupun Konghucu.

Seperti kata Paus Fransiskus, "Melindungi ciptaan adalah tanggung jawab kita. Saya mohon kepada semua orang yang memiliki jabatan-jabatan yang bertanggung jawab atas kehidupan ekonomi, politik dan sosial. Semua laki-laki dan perempuan yang berkehendak baik; marilah kita menjadi pelindung bagi semua ciptaan. Pelindung bagi rencana Tuhan yang tertulis dalam alam, pelindung bagi satu sama lain dan perlindungan lingkungan hidup".

Jadi jelas bahwa melindungi Baiq Nuril, orang yang mengungkap prilaku mesum kepala sekolah menjadi tanggung jawab kita semua. Pun demikian, memberikan kasih sayang kepada Rafi adalah tanggung jawab Nuril sebagai orangtua. Kita hanya melindungi agar kasih sayang yang seharusnya didapat Rafi tidak direnggut oleh ketidak adilan.

Dalam ajaran Islam, posisi Baiq dan Rafi terzalimi. Baiq terzalimi oleh keadilan yang belum berpihak pada kebenaran. Sedangkan Rafi terzalimi karena akan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Hadist Abu Hurairah menjelaskan bahwa Rasulullah SAW terdapat tiga doa mustajab yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orangtua kepada anaknya.

Selanjutnya, mari kita bertanya kepada hati kecil kita. Bagaimana jika posisi Baiq sekarang ini, di alami oleh kita ataupun saudara kandung kita. Tentu kita akan beraksi. Melindungi dengan sekuat tenaga. Bila diperlukan melakukan aksi massa.

Dalam literasi Indonesia, massa aksi sangat dekat dengan Tan Malaka. Pada tahun 1926, begawan revolusi Indonesia itu menulis brosur "Massa Actie (Aksi Massa)".

Di tulisan itu Tan Malaka menjelaskan, hannya "satu aksi massa", yakni satu aksi massa yang terencana, yang akan memperoleh kemenangan di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia. Di sini, Tan Malaka membedakan "Massa Aksi" dengan Tukang Putch (anarkis) dan petualang (advonturir).

Bagi Tan Malaka, massa aksi berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Aksi massa terwujud dalam boikot, mogok, dan demonstrasi.

Untuk merebut keadilan kita terkadang membutuhkan pergerakan. Pergerakan yang dilakukan bersama-sama untuk satu tujuan, yakni tidak membiarkan kasih sayang hilang dari dekapan Rafi.

Kita juga bukan ingin menjadi pahlawan, sekalipun setiap tanggal 10 Oktober kita memperingati Hari Pahlawan. Tapi semangat para pahlawan merebut kemerdekaan rakyat Indonesia dari ketertindasan, ketidak adilan, keterpurukan, kemelaratan dan penjajahan tetap terpatri di dalam benak seluruh rakyat.

Semangat itu pula yang memanggil-manggil jiwa kita untuk bersama memperjuangkan keadilan untuk Baiq Nuril dan Rafi. Tabik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun