Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jokowi dan Harga Makanan di Singapura yang Mahal

15 November 2018   05:27 Diperbarui: 15 November 2018   17:07 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jawaban sesungguhnya sangat sederhana. Presiden Jokowi memahami betul taktik perang Sun Tzu. Menurut Sun Tzu, 'kenalilah diri dan musuhmu, kau akan tidak diragukan lagi menang dalam seribu pertempuran'.  

Jokowi sudah sangat mengenal gaya politik Sandiaga yang selalu melebih-lebihkan sesuatu dengan harapan dapat perhatian publik. Sekalipun seringkali penuh drama dan hiperbolik. Gaya politik Sandiaga yang 'lebay' itupun di kelola Jokowi dengan baik.

Jokowi paham benar kalau medsos dan media mainstream telah membandingkan harga makanan di Singapura dan Indonesia. Namun, kurang menyentuh perhatian kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Hasilnya menjadi berbeda dengan pembuktian langsung yang dilakukan Presiden Jokowi. Secara tidak langsung presiden ingin bilang kepada masyarakat Indonesia kalau harga makanan di Indonesia lebih murah loh. Sekalipun restoran tersebut milik orang Indonesia.  

Seperti kata Sun Tzu, untuk memenangkan pertempuran kita harus dapat memenangkan hati dan pikiran rakyat', 'mengendalikan lumbung musuh' dan 'mengendalikan senjata musuh'.

Gaya politik elegan yang ditampilkan Jokowi mampu memenangkan hati dan pikiran rakyat sekaligus mengendalikan lumbung serangan musuh dan mengendalikan senjata musuh.

Sedangkan Sandiaga lebih menggunakan pendekatan Friedrich Willem Nietzsche atau Nietzche. Ia  mengatakan kehendak untuk berkuasa merupakan prinsip dari seluruh kehidupan manusia dan alam. Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa ini bisa disebut sebagai kekuatan yang memerintahkan dirinya sendiri, bersifat memerintah dan menaati tanpa mengandaikan pasivitas apapun.

Dalam kehendak untuk berkuasa, tidak ada pihak yang bersifat pasif. Hal ini menurut Nietzsche karena untuk menaati perintah kehendak untuk berkuasa tersebut dibutuhkan kekuatan untuk memerintah diri sendiri.

Kesimpulannya, Sandiaga telah melakukan apa yang dikatakan Nietzche, untuk berkuasa tidak bisa bersifat pasif. Menyerang terus menerus menjadi kunci untuk meraih kekuasan itu sendiri. Tapi Sandiaga lupa kalau seni berpolitik Indonesia pada hekikatnya santun dan penuh ketenangan. Calon yang bisa mengambil hati rakyat itulah yang menang. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun