Setelah Ronaldo resmi bergabung dengan Juventus, kini Manchester United intens melakukan komunikasi dengan Gareth Bale (Madrid). Sementara, dikabarkan Eden Hazard (Chelsea) akan pindah ke Madrid, Paulo Dybala (Juventus) akan pindah ke Liverpool.
Jelang kompetisi banyak pemain unggulan berpindah klub. Dalam sepakbola ini hal yang lumrah dan  sudah diatur dalam bursa transfer. Alasan mereka beragam: karena sudah tidak nyaman dengan klub lama; atau karena klub baru lebih menjanjikan. Sementara bagi klub, kepindahan pemain baru diharapkan bisa meningkatkan profit, baik dari penjualan tiket, penjualan merchandise, dan daya tarik sponsor.
Hal demikian rupanya juga menimpa dunia politik praktis. Jelang kompetisi politik, lazim disebut tahun politik, banyak figur unggulan pindah parpol. Alasan merekapun beragam. Dan ini tidak bisa diklasifikasikan ke dalam kolom yang sederhana, karena pemain politik berbeda dengan pemain sepakbola. Kalaupun harus diklasifikasikan belum ditemukan ilmu statistik yang mumpuni untuk hal ini. Bagaimana tidak, antara quick count dan real count saja seringkali hasilnya tidak sama.
Baik sepakbola atau politik sebenarnya keduanya sama-sama profit oriented. Kalau klub sepakbola berharap profit dari sponsor, penjualan tiket dan merchandise, berbeda dengan Parpol yang berharap profit dari entahlah, tapi yang kasat mata adalah profit elektoral.
Profit itu penting karena dalam setiap kompetisi selalu ada yang terdegradasi. Klub sepakbola akan didegradasi ke kelas kompetisi setingkat di bawahnya bila berada di papan klasemen bawah. Sementara degradasi di dalam kompetisi politik adalah tidak mendapatkan kursi di parlemen bila tidak mencapai angka ambang batas (threshold).
Namun sepakbola tidaklah se-cair politik yang bisa sekena dan seenaknya merekrut pemain dari lntas cabang. Dalam sepakbola tidak bisa merekrut pemain dari cabang bola voli, sepak takraw, atau cabang lari. Meskipun di cabang bola voli juga urusan memainkan bola, di cabang sepak takraw juga urusan meyepak bola, dan di sepakbola tidak bisa lepas dari unsur lari.
Sementara di politik sah sah saja merekrut dari lintas cabang, dari cabang selebritis, cabang pegawai negeri, cabang tentara, cabang polisi, cabang pegawai pemerintah. Karena politik itu cair, begitulah kira-kira dalilnya.
Seandainya di sepabola bisa seenaknya merekrut pemain dari lintas cabang, mungkin Timnas Indonesia bakal bisa berkiprah di Piala Dunia. Bukankah di cabang buku tangkis, panahan, angkat besi, lari, sudah terbukti di kancah dunia? Dari cabang bulu tangkis ada Susi Susanti, Alan Budikusuma, Taufik Hidayat, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Sedangkan di cabang lari Lalu Muhammad Zohri baru saja  meraih juara dunia.
Tapi sepakbola bukanlah politik, meski sama-sama riuh dan penuh gimik yang bikin gemes. Lihat saja presiden Kroasia Kolinda yang bikin gemes netizen seantero gegara aksinya yang mendukung Timnas Krosia di tribun. Bahkan pada laga semifinal Kroasia vs Inggris, Kolinda memberikan jersey Kroasia dengan nama punggung Theresa May kepada Perdana Menteri Inggris.
Seandainya hal ini terjadi di bidang politik, tentu tafsirnya sudah meluber ke mana-mana saking cairnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H