Mohon tunggu...
Iskandar Dzulqornain
Iskandar Dzulqornain Mohon Tunggu... -

Alumni IAIN Sunan Ampel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Ditunda, Inilah Tantangan Demokratisasi Kita

7 Agustus 2015   11:08 Diperbarui: 7 Agustus 2015   11:08 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tujuh daerah mengalami penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 karena hanya ada satu pasangan calon. Berdasarkan undang-undang Pilkada tidak memungkinkan untuk dilaksanakan Pilkada karena pelaksanaan Pilkada sekurang-kurangnya terdapat dua pasangan calon. Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Tasikmalaya-Jawa Barat; Kabupaten Blitar-Jawa Timur; Kabupaten Pacitan-Jawa Timur; Kota Surabaya-Jawa Timut; Kota Mataram Nusa Tenggara Barat-NTB; Kabupaten Timur Tengah Utara-NTT; Kota Samarinda-Kalimantan Timur.

Menyikapi calon tunggal yang terjadi di tujuh daerah tersebut, terdapat tiga opsi yang diwacanakan oleh pemerintah. Pertama, menerbitkan Perppu sehingga tetap dimungkinkan diselenggarakan Pilkada serentak 2015 di tujuh daerah tersebut meskipun hanya ada calon tunggal. Kedua, memperpanjang masa pendaftaran calon walikota-wakil walikota. Ketiga, tetap berpegang pada PKPU Nomor 12 tahun 2015, artinya ditunda sampai tahun 2017.

Jika memperpanjang masa pendaftaran pasangan calon tentu akan mempengaruhi tahapan Pilkada yang sudah berjalan. Sementara Perppu atau kembali ke PKPU 12/2015 masih menjadi bola liar.

Ada dua pertimbangan yang perlu diurai dari permasalahan calon tunggal dan penundaan Pilkada tersebut. Tentu pertimbangan tersebut harus mementingkan kepentingan rakyat dan proses demokratisasi. Pertama, pertimbangan tersebut adalah kenapa Pilkada Serentak 2015 harus tetap dilakukan di daerah yang memiliki calon tunggal? Kedua, bagaimana dampaknya bagi daerah tersebut bila Pilkada ditunda sampai 2017?

Fenomena calon tunggal mengakibatkan ditundanya pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 di beberapa daerah. Disadari atau tidak, ditundanya pelaksanaan Pilkada Serendak 2015 di beberapa daerah adalah karena konstruksi undang-undang dan regulasi yang mengatur pelaksanaan Pilkada adalah lemah sehingga tidak mampu mengantisipasi persolan tersebut. Polemik calon tunggal sudah menjadi bola liar. Wacana penundaan Pilkada sudah menjadi komoditas politik. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena akan menggerogoti proses demokratisasi di negara ini.

Bila demikian artinya kualitas dewan perwakilan rakyat kita rendah? Karena merekalah yang merumuskan undang-undang. Tidak perlu berspekulasi terlalu jauh ke sana. Toh, kita semua sudah tahu bagaimana kualitas mereka. Bagaimanapun mereka adalah produk demokrasi yang sedang kita bangun bersama. Mereka wajib kita hormati sebagai produk demokrasi. Tidak lebih. Rakyatlah yang menyelenggarakan demokrasi. Artinya proses demokratisasi adalah menjadi tanggungjawab kita bersama sebagai warga negara.

Sementara itu, persoalan lain adalah sikap partai politik yang terkesan saling menyandera sehingga tidak mendaftarkan pasangan calon sampai batas akhir yang sudah ditentukan. Bukankah tugas partai politik adalah merekrut, mengkader calon-calon pemimpin negara dari presiden sampai kepala daerah? Apakah bangsa ini sudah krisis kepemimpinan sehingga partai politik pun tidak mampu menelorkan calon-calon pemimpin kepala daerah? Hal ini perlu kita renungkan bersama dan dicarikan solusi terbaik.

Kita sudah dipertontonkan dagelan politik tentang kaburnya salah satu pasangan calon saat pendaftaran, terlambatnya pasangan calon yang datang untuk mendaftar, tidak lengkapnya berkas yang akan diserahkan saat pendaftaran. Kejadian ini tidak perlu diperbincangkan serius. Laiknya sebuah dagelan, bila sesuai dengan selera humor kita, kita tertawakan saja. Bila tidak sesuai dengan selera humor kita, kita nyinyirin aja. Selesai.

Terjadinya calon tunggal tidak bisa lepas dari sulitnya persyaratan bagi calon independen yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 8 tahun 2015 menyebabkan calon yang akan menyalonkan independen berpikir dua kali, mungkin tiga kali, empat kali. Persyaratan dukungan naik 3,5 persen. Dari dari 3-6,5 persen menjadi 6,5-10 persen. Tentu spirit dari regulasi ini mengimplisitkan amanah tanggungjawab yang besar kepada partai politik atas proses demokratisasi di negara ini. Namun apa lacur, partai politik malah menjadikan ini sebagai peluang untuk saling menyandera, menjadikannya sebagai landasan untuk mempraktikkan politik saling sandera. Lagi-lagi konstruksi undang-undang dan regulasi yang dibangun adalah lemah sehingga tidak mampu mengantisipasi kejadian ini.

Sementara dampak ditundanya Pilkada adalah kekosongan jabatan kepala daerah akan diisi oleh Pj atai Plt sampai ada kepala daerah definitif hasil Pilkada. Bila Pilkada Serentak 2015 ditunda sampai 2017 maka, selama kekosongan kepemimpinan tersebut ditunjuk seorang penjabat kepala daerah (pj.) sampai terpilih walikota-wakil walikota definitif hasil Pilkada Serentak gelombang kedua tahun 2017. Mekanismenya, sesuai Surat Edaran Mendagri Nomor 120/3262/SJ untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, Gubernur mengusulkan 3 (tiga) orang nama calon penjabat Bupati/Walikota kepada Menteri Dalam Negeri yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama, memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan dapat menjaga netralitas PNS di dalam penyelenggaraan Pilkada dengan melampirkan SK Pangkat dan Jabatan Terakhir serta biodata calon penjabat kepala daerah.

Kemudian yang menjadi momok persoalan kekosongan jabatan kepala daerah yang diisi oleh Pj atau Plt adalah terhambatnya pembangunan di daerah, karena Pj atau Plt tidak memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan strategis sebagaimana kepala daerah definitif. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 disebutkan bahwa penjabat atau pelaksana tugas kepala daerah dilarang: (1) melakukan mutasi pegawai; (2) membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; (3) membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; (4) membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintah dan program pembangunan pejabat sebelumnya. Namun hal itu dapat dikecualikan bila ada izin dari Kemendagri. Artinya, Kemendagri dapat mengeluarkan Surat Edaran agar tidak terjadi terhambatnya pembangunan di daerah yang dijabat oleh penjabat kepala daerah.

Dengan demikian persoalan yang harus segera diselesaikan adalah perihal undang-undang Pilkada dan regulasi yang mengatur pelaksanaan Pilkada harus segera diperbaiki dengan mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa menghambat jalannya proses demokratisasi dan praktik politik saling sandera. Persoalan yang mendasar dengan ditundanya pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 bukan pada terjadinya kekosongan kekuasaan yang cukup lama, setidaknya dua tahun, tapi terhambatnya proses demokratisasi di negara ini. Bukan tidak mungkin pada Pilkada Serentak gelombang kedua tahun 2017 juga akan terjadi calon tunggal, bahkan pada Pilpres 2019. Tentu ini menjadi terhambatnya proses demokratisasi di negara Indonesia tercinta ini.

Sedangkan momok terhambatnya proses pembangunan di daerah yang pelaksanaan Pilkadanya ditunda karena kekosongan jabatan akan diganti Pj atau Plt yang kewenangannya tidak sama dengan kepala daerah definitif. Hal ini perlu dicarikan jalan keluar dengan dibuatnya Surat Edaran Kemendagri yang mengatur kewenangan Pj. sehingga proses pembangunan di daerah yang pelaksanaan Pilkadanya ditunda tidak terhambat.

Jadi persolannya bukan pada apakah Pilkada ditunda atau tidak, tapi bagaimana dengan proses demokratisasi ini dijalankan. Bila Pilkada ditunda, persoalannya bukan pada apakah pembangunan di daerah terhambat atau tidak karena hal ini bisa diselesaikan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mendagri. Tapi dengan ditundanya Pilkada artinya ada proses demokratisasi yang terhambat. Bila dipaksakan diselenggarakan maka, ada cacat dalam proses demokratisasi karena sudah mempermainkan konstitusi, tentu hal ini menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan negara ke depan. Kedua hal tersebut adalah penyakit mematikan yang akan melumpuhkan demokrasi. Oleh karena itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, harus segera dicarikan obat paling mujarab agar tidak menjalar ke mana-mana.

Akhirnya, semua bergantung pada political will dari elit politik dan elit pemerintahan untuk segera mencarikan jalan keluar yang terbaik agar proses demokratisasi di negeri ini tidak terhambat, serta proses pembangunan di daerah tetap berjalan. Rakyat hanya menginginkan semua akan menjadi lebih baik dan membawa kebaikan bagi kehidupan bangsa dan negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun