Kecenderungan mengejar kebenaran ontologis inilah selanjutnya mengarah pada praktik dominasi. Karena praktik dominasi bertujuan menyeragamkan atau menunggalkan, maka ia menciptakan jarak antagonis dengan yang lain. Saya/kami adalah baik sedang kamu/kalian adalah buruk, saya/kami adalah benar sedang kamu/kalian adalah salah, dan seterusnya. Karenanya yang lain patut disingkirkan. Praktik dominasi ini dipertahankan dengan menghadirkannya secara legitimit dan berupaya memperkuat tingkat legitimasinya secara rasional. Oleh karenanya ketimpangan serta keganjilan dari praktik dominasi ini nampak rasional.
Kiranya penting untuk mendesakkan pemahaman bahwa penafsiran merupakan kreasi sosial-historis dimana teks itu ditafsirkan. Mestinya penafsiran tidaklah dimaksudkan sebagai pengejaran kebenaran ontologis, murni, mutlak. Makna tidak turun dari langit. Ia terkait dengan proses sosial-historis yang sarat kepentingan. Tidak ada kebenaran (‘K’ besar) tapi hanya kebenaran-kebenaran (‘k’ kecil) yang bersarang dalam penafsiran. Dengan demikian praktik dominasi tidak menemukan ruang, bahkan untuk bermetamorfosis. Karena kebenaran ontologis tidak menjadi tujuan. Akhirnya, masing-masing akan merasa tidak paling benar diantara kebenaran-kebenaran yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H