Mohon tunggu...
Iskandar Fasad
Iskandar Fasad Mohon Tunggu... -

freelancer di beberapa media, pemerhati sosial budaya Aceh, penggemar sate matang, pembenci kekerasan dan pelanggar HAM.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah MoU Helsinki "Rohnya" Rakyat Aceh?

1 November 2012   03:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemangku Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar menyatakan bahwa MoU Helsinki merupakan jiwa dan rohnya rakyat Aceh. Pernyataan tersebut disampaikan pada peringatan 7 tahun MoU Helsinki di Masjid Raya Banda Aceh, Agustus silam. Terus terang, pernyataan ini mengusik saya sebagai orang Aceh yang melihat MoU Helsinki tidak seperti bagaimana Pemangku Wali melihat. Bagaimana tidak? semenjak saya kecil orang tua saya yang asli Aceh mengajarkan bahwa identitas ke-Acehan kita sebagai bangsa dibangun dari budaya Aceh yang berakar pada Islam.

Berangkat dari pemahaman tersebut saya mencoba untuk membuka dan membaca lagi salinan MoU Helsinki untuk melihat apakah pernyataan Malik Mahmud tersebut masuk akal ataukah tidak bagi saya.

Sejarah menyebutkan, MoU Helsinki digagas oleh mantan Presiden Finlandia Maarty Ahtasaari sebagai bentuk jalan tengah menuju perdamaian antara Indonesia dan GAM yang dilandasi oleh semangat keprihatinan atas adanya "teguran" Allah SWT yang menimpakan bencana tsunami hingga mengorbankan lebih dari 10o ribu orang tewas. Dalam poin-poin MoU Helsinki yang diangkat terdapat 6 pasal dengan sub-sub pasalnya, antara lain; Pemerintahan Aceh, HAM, Amnesti dan Reintegrasi ke dalam masyarakat, Pementukan Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Penyelesaian Pertikaian. Sementara itu sub-sub pasal berintikan hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai yaitu Pemerintah RI dan GAM. Jujur saja, MoU ini apabila ditelisik lebih dalam, ini tidak mewakilkan rakyat Aceh, namun lebih kepada keterwakilan GAM yang hingga saat ini saya tidak yakin seluruh rakyat Aceh mendukung pemberontakan GAM kala itu.

Satu-satunya pasal yang bermanfaat bagi rakyat Aceh adalah pasal mengenai HAM yang berintikan pembentukan pengadilan HAM di Aceh yang hingga saat ini belum juga terbentuk. Not even planned. Setelah 7 tahun MoU Helsinki, fakta menyebutkan bahwa semua pasal-pasal yang memuat kewajiban Pemerintah RI sebagai legal state telah dijalankan sesuai dengan komitmen, namun tidak demikian halnya dengan GAM/KPA?PA  yang saat ini telah menduduki jabatan-jabatan strategis di Aceh. Kita bisa lihat ribuan senjata sisa konflik yang ditemukan dan dimusnahkan beberapa waktu lalu oleh aparat keamanan, kita juga lihat bagaimana kotornya permainan politik yang mengorbankan belasan jiwa tak berdosa, kita juga melihat dan mendengar bagaimana laju ekonomi hanya berputar-putar dalam lingkaran kekuasaan para eks kombatan. Jadi bagian mana dari MoU Helsinki  yang disebut jiwa dan rohnya rakyat Aceh?

Saya selalu percaya bahwa ke-Acehan saya bukan dilandasi oleh MoU yang baru berumur 7 tahun dan lebih berpihak kepada kelompok tertentu. Sebaliknya saya bercaya, bahwa ke-Acehan saya berawal dari proses panjang perjalanan sejarah Aceh sejak masa-masa keemasan Kesultanan Aceh yang meletakkan identitas dan ciri khas Aceh yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur keislaman, sehingga membedakan orang Aceh dengan orang/suku Indonesia lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun