7 tahun sudah berlalu, Otsus Aceh dikucurkan dengan deras oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari komitmen pemerintah pusat dalam MoU Helsinki. Sejak tahun 2008 hingga 2015, setidaknya total suntikan dana Otsus yang mengalir ke Aceh berjumlah 41 trilyun rupiah yang harapannya dapat dimanfaatkan dengan bijaksana oleh pemerintah Aceh sebagai stimulus untuk menggerakkan roda perekonomian rakyat, peningkatan pendidikan, pengentasan kemiskinan hingga pembangunan infrastruktur.
Namun demikian setelah 7 tahun berlalu, terjadi ketidakseimbangan antara harapan rakyat Aceh dan realitas yang terjadi. Orang miskin di provinsi yang berpenduduk lebih kurang 4 juta jiwa ini semakin meningkat, pendidikan Aceh semakin menurun sehingga terendah di antara provinsi-provinsi di Indonesia, infrastruktur yang amburadul sehingga menghambat roda perekonomian rakyat dan semakin rendahnya pelayanan kesehatan bagi rakyat Aceh, meskipun negeri Serambi Mekah ini dipimpin oleh seorang dokter.
Tentu kita bertanya-tanya kenapa hal ini terjadi, dan dimana larinya puluhan trilyun dana yang jika ditarik ke belakang berasal dari jerih payah seluruh rakyat di nusantara ini. Tanpa bermaksud berburuk sangka, persoalan keterpurukan (jika tidak mau dikatakan ambang kebangkrutan) Aceh ini disebabkan inkapabilitas dari pemimpin Aceh yang menurut saya sering kali kehilangan fokus dalam menetapkan prioritas yang perlu diurus.
Para pemimpin Aceh yang sebagian besar berasal dari eks kombatan dan elit GAM ini, terlalu menyibukkan diri dan tenggelam dalam hal-hal yang bukan untuk kepentingan rakyat. Seperti urusan kepartaian yang terus ribut dan saling sikut untuk memperoleh posisi dan jabatan yang penting entah dalam pemerintahan maupun dalam kepartaian. Hal ini berakibat, Gubernur salah dalam menempatkan orang yang duduk dalam pos-pos jabatan birokrasi, karena diisi oleh orang-orang yang tidak punya kapabilitas dan yang lebih penting lagi niat baik untuk membangun Aceh.
Lalu pembangunan-pembangunan serta pengeluaran yang tidak perlu dalam APBA terus terjadi. Seperti pembangunan istana Wali Nanggroe yang diprediksi menelan biaya ratusan milyar rupiah hingga pengadaan tunjangan-tunjangan pejabat yang semakin mewah yang berbanding terbalik dengan kebutuhan rakyat yang semakin mencekik. Harga-harga kebutuhan pokok mahal, pekerjaan sulit, pendidikan semakin rendah. Implikasinya, kejahatan dan tindak kriminal semakin meningkat yang berakibat juga pada larinya investor maupun keengganan pengusaha berinvestasi di Aceh.
Situasi di atas, jika tidak disadari dengan cepat maka akan semakin menenggelamkan rakyat Aceh dalam kesengsaraan. Tahun 2028 yang akan datang, APBA Aceh akan sekitar 4-5 trilyun rupiah. Bayangkan jika nilai ini terjadi sekarang, seperti apalagi sengsaranya rakyat Aceh. Stimulus ekonomi yang diharapkan oleh pemerintah pusat tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga rakyat aceh digiring dalam keterpurukannya.
Oleh karena itu, langkah yang mungkin diambil adalah mendorong pemerintah Aceh untuk meningkatkan kinerjanya, rakyat mengawasi dengan ketat kebijakan-kebijakan pemerintah Aceh dan tentunya yang paling penting adalah rakyat belajar darikesalahan yang lalu-lalu dalam memilih pemimpinnya yang tidak tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H