Qanun Wali Nanggroe (WN) yang baru saja disahkan tanggal 2 November lalu oleh DPRA, menuai protes besar-besaran di Aceh secara terbuka. Ribuan massa yang berasal dari Kabupaten Aceh Tengah, Singkil, Gayo dan Bener Meriah menolak pemberlakuan qanun tersebut melalui aksi unjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah, kemarin.
Adanya pengesahan qanun secara sepihak oleh DPRA yang dikuasai oleh Partai Aceh, menjadikan keinginan rakyat Aceh untuk segera memisahkan diri menjadi Provinsi tersendiri/terpisah dari Aceh semakin menguat dengan membentuk Provinsi Aceh Leuser Antara atau sering disingkat ALA.
Demonstrasi ribuan massa yang menamakan dirinya "Gayo Rasa" tersebut menilai isi Qanun WNÂ diskriminatif dan mengabaikan hak-hak politik suku minoritas di Aceh, seperti suku Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, Tamiang, dan suku minoritas lainnya yang ada di Provinsi Aceh. Mereka menyebut qanun tersebut disahkan secara sepihak tanpa itikad baik untuk mendengar keinginan dan masukan rakyat Aceh secara utuh.
Sementara itu, dari Pihak DPRK Aceh Tengah sendiri tidak satupun anggota maupun jajaran pemimpin DPRK untuk bersedia menemui para pengunjuk rasa sehingga mengakibatkan nyaris terjadi rusuh antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan yang bertugas mengamankan lokasi.Untunglah aparat keamanan mampu mengatasi ketegangan tersebut secara persuasif dan diterima oleh pihak demonstran. Karena gagal bertemu dengan pimpinan DPRK maka para pengunjuk rasa melanjutkan aksi-aksinya secara simpatik dengan menampilkan kesenian daerah suku-suku minoritas yang ada di Aceh. Demonstrasi berakhir sekitar pukul 16.00 dengan damai.
Qanun Wali Nanggroe merupakan qanun yang mengkultuskan keberadaan Wali Nanggroe sebagai tokoh pemersatu Aceh yang merupakan bagian dari kesepakatan Indonesia dan GAM 2005 lalu. Namun pada pelaksanaannya, qanun tersebut cenderung melampaui batas-batas kewajaran dengan kewenangan yang berlebihan seperti penguasaan asset-asset Aceh, pelibatan politik Wali hingga hak imunitas Wali Nanggroe untuk tidak tersentuh hukum yang berlaku di wilayah NKRI. Sementara itu, penunjukan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe juga menuai kontroversi di kalangan pemuka agama Aceh karena yang bersangkutan bukan merupakan keturunan dari Kesultanan Aceh dan tidak mampu membaca Al quran secara fasih dan benar.
editor: Atjeh Group
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H