[caption id="attachment_371129" align="alignnone" width="641" caption="Sumber: https://www.flickr.com/photos/atjeh_group/14612708889/"][/caption]
Mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang juga Wakil Gubernur Aceh, H. Muzakkir Manaf yang akrab dipanggil Mualem, menyatakan bahwa dirinya belum mengetahui apa-apa dan belum melakukan koordinasi dengan Gubernur Aceh terkait perubahan komposisi bendera Aceh. (http://aceh.tribunnews.com/2015/03/01/mualem-tak-ingin-bendera-diubah). Padahal, pada pernyataan sebelumnya, Mualem menyatakan perubahan komposisi bendera Aceh tidak masalah agar tidak terlalu mirip dengan bendera GAM. (http://aceh.tribunnews.com/2014/11/21/bendera-diubah-sedikit-tak-apa).
Persoalan Bendera Aceh ini mulai merebak setelah DPRA dan Pemerintah Aceh mengusulkan raqan No 3 Tahun 2013 tentang lambang dan bendera Aceh yang merupakan lambang dan bendera gerakan separatis GAM pada pertengahan 2013 lalu. Tentu saja pemerintah pusat meradang dan menolak usulan tersebut karena melanggar PP no.77 tahun 2007 yang melarang penggunaan atribut dan lambang-lambang separatis dan bahkan melanggar kesepahaman Helsinki. Setelah melalui negosiasi yang cukup panjang dengan berbagai masa cooling down serta pertemuan-pertemuan yang menghabiskan ratusan milyar uang rakyat, akhirnya pemerintah Aceh mulai bersepakat untuk mengganti komposisinya dengan bendera Alam Peudang. (http://aceh.tribunnews.com/2014/12/12/bendera-alam-peudeung-menguat).
Perbedaan pernyataan dan perubahan sikap Mualem ini menimbulkan beberapa spekulasi di tengah masyarakat Aceh. Ada yang mengatakan Mualem memperoleh tekanan internal kalangan Partai Aceh maupun Tuha Peut, namun di lain pihak juga memperkirakan bahwa sikap Mualem ini akibat adanya negosiasi bagi hasil migas yang belum sesuai harapan Pemerintah Aceh. Sebagaimana diketahui, bagi hasil 70:30 untuk Pemerintah Aceh sudah disepakati, namun Pemerintah pusat hanya bersepakat untuk wilayah perairan 12 mil dari bibir pantai (territorial waters) sesuai dengan
United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diberikan kepada sebuah negara untuk melakukan pengelolaan sumber daya kelautan. Perbedaannya dengan territorial waters adalah wilayah kedaulatan penuh dari sebuah negara sementara EEZ merupakan hak kedaulatan pengelolaan dari sebuah negara. Perlu diingat, Aceh bukan merupakan Negara sendiri.
Bagi saya, apapun alasan dan sebab kebingungan Mualem ini, secara psikologis menunjukkan inkonsistensi dirinya sebagai seorang pemimpin. Kelabilan Mualem ini diakibatkan posisinya yang lemah di antara elit-elit baik di internal partainya maupun dalam pemerintahan. Perannya dalam partai yang dipimpinnya sendiri, tertutupi oleh Tuha Peut yang terdiri dari elit-elit tua GAM seperti Zaini Abdullah (Gubernur Aceh), Malik Mahmud (Wali Nanggroe) dan Zakaria Saman. Sementara dalam pemerintahan, perannya tertutupi oleh sang Gubernur.
Hal ini menyulitkan posisi Mualem untuk dimana ia seharusnya berdiri. Jika ia berseberangan dengan elit-elit tua, maka posisinya semakin lemah, namun jika ia berdiri di bawah elit-elit tua tersebut, maka ia tak lebihnya sebagai "jongos" yang tak pernah bisa mengambil keputusan sendiri.
Buat saya solusinya hanya satu, yaitu kembali dan tetap istiqomah pada kepentingan rakyat Aceh. Saya yakin, sepanjang seorang pemimpin berbuat dan memberikan pengabdian terbaiknya bagi rakyatnya maka Tuhan akan selalu menjaganya. Persoalan lambang dan bendera Aceh adalah persoalan yang maha kecil jika dibandingkan dengan persoalan-persoalan Aceh yang sangat berat, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan dan pembangunan yang masih berjalan di tempat.
Oleh karenanya, jika Mualem selalu berpedoman pada niat yang baik dan kepentingan rakyat, maka tidak akan terjadi kebingungan-kebingungan dan mungkin pengambilan keputusan bodoh karena tidak tahu harus berdiri dimana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H