Seiring kenaikan harga BBM pada bulan September 2022, para pejabat pemerintah pusat maupun daerah ramai-ramai beretorika, ada yang melakukan sidak ke SPBU-SPBU dengan meminta pengertian atau tepa selira ke rakyat bahkan mempermalukan rakyatnya dengan teguran yang diviralkan, ada juga yang secara halus menyampaikan ke media massa agar rakyat mau beralih ke BBM non subsidi, karena subsidi BBM memberatkan APBN yang akan berujung pada defisitnya neraca keuangan negara, dan lain sebagainya.
Akan tetapi yang terjadi di lapangan setelah kenaikan harga BBM bersubsidi adalah semakin panjangnya antrian BBM bersubsidi bahkan antrian jauh lebih panjang dibanding sebelum kenaikan harga, dan lebih parahnya, antrian semakin panjang justru terjadi di jalur antrian BBM bersubsidi untuk pemakai sepeda motor maupun antrian solar, sedangkan di jalur antrian BBM bersubsidi untuk mobil pribadi semakin berkurang, apakah hal ini menandakan bahwa pemakai mobil pribadi beralih ke moda transportasi sepeda motor atau moda transportasi masal ?Â
Hal ini masih menjadi tanda tanya, sebab secara kebetulan para pedagang eceran BBM pertalite semakin menjamur dan pembelinya juga semakin banyak, serta semakin maraknya berita penjualan solar ilegal.
Di satu sisi, dapat dilihat bahwa konsumen BBM non subsidi tidak mengalami peningkatan bahkan mungkin menurun, baik untuk jenis Pertamax maupun DEX, jalur antriannya relatif sepi dan sunyi, dalam arti kata program pengurangan subsidi bila tidak mau dikatakan gagal hanya dapat sedikit mengurangi anggaran subsidi, dikarenakan walau harganya telah dinaikkan tetapi volume permintaannya justru meningkat pesat.
Dan bila ada rakyat, yang rata-rata pengemudi sepeda motor, berkoar-koar menyatakan nasionalismenya, dengan selalu memakai BBM non subsidi, kita perlu mengamatinya, apakah dia malas antri atau jauh dari SPBU ?
Mencermati fenomena-fenomena di atas maka dapat disimpulkan bahwa regulasi pemerintah dalam mengurangi beban subsidi BBM dapat dikatakan keliru atau lemah, sehingga tidak dapat memberikan manfaat yang berarti pada kesehatan neraca keuangan negara, yang mungkin justru semakin memberatkan karena keharusan menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) bagi rakyat yang terdampak oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, di sisi lain justru semakin merepotkan rakyatnya untuk bersiasat dalam menyikapi regulasi tersebut, serta semakin menyebabkan pemborosan-pemborosan nasional secara masif karena antrian panjang, kemacetan jalan raya dan pemborosan waktu sebagai dampaknya.
Jadi sebenarnya, apakah target dan sasaran pemerintah dengan kenaikan harga BBM bersubsidi pada bulan September 2022 yang baru lalu ? Subsidi tepat sasaran atau mengurangi subsidi dan beban APBN ?
Seandainya kebijakan menggunakan aplikasi MyPertamina yang sempat didengungkan sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi diterapkan dengan disertai dengan regulasi-regulasi berikut ini :
- Harga BBM bersubsidi tidak naik, hanya diperuntukkan bagi pengguna sepeda motor dan kendaraan umum roda empat atau lebih yang ber-pelat nomor polisi  dasar warna kuning, dengan syarat menggunakan aplikasi MyPertamina untuk membatasi kuota perhari-nya.
- Seluruh kendaraan roda-empat atau lebih, yang ber-pelat nomor polisi selain dasar warna kuning, wajib menggunakan BBM non subsidi, dengan harga sesuai naik-turunnya harga minyak dunia.
- Dispenser layanan BBM bersubsidi untuk sepeda motor ditambah guna mengantisipasi perpindahan pemakaian kendaraan roda empat ke sepeda motor, agar tidak menyebabkan antrian panjang maupun kemacetan jalan raya pada area sekitar SPBU.
Mungkin akan berimbas pada hal-hal sebagai berikut :
- Pemilik kendaraaan roda-empat atau lebih, yang ber-pelat nomor polisi selain dasar warna kuning, akan beralih ke moda transportasi lainnya, menggunakan moda transportasi masal atau berganti kendaraan dengan energi alternatif atau EBT (Energi Baru Terbarukan).
- Subsidi Tepat Sasaran sehingga tidak perlu menyalurkan BLT karena tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi.
- Kuota pemakaian BBM bersubsidi terkontrol oleh aplikasi MyPertamina akan mengurangi praktek-praktek jual-beli BBM ilegal.
- Harga-harga kebutuhan pokok tidak naik karena harga BBM untuk kendaraan logistik tidak naik.
- Konsumsi BBM bersubsidi secara nasional akan menurun drastis.
- Neraca Keuangan Negara akan semakin sehat.
- Mendukung program transisi energi fosil ke energi ramah lingkungan.
Akhir kata, semoga pemerintah mau dan tidak malu untuk berbuat kebaikan bagi rakyatnya, dengan merevisi regulasi-regulasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H