Mohon tunggu...
Ready Advancer
Ready Advancer Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya memposting apa yang hati saya katakan sebelum kepala saya mengarahkan tangan menulis apa yang saya inginkan. \r\n\r\nPerjuangan itu tidak mudah.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Riau Tanpa Hutan

5 Maret 2014   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:12 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1394010324932862834

[caption id="attachment_326035" align="aligncenter" width="250" caption="sumber : http://www.greenpeace.org"][/caption]

TKP.
Bagi yang tinggal di Prov Riau, tentu masih ingat, Riau (sebelum dan) di  tahun 1980-an penuh dengan hutan. Kawasan  hutan membuat kandungan air cukup segar dan kebakaran dalam skala besar  jarang terjadi. Ini berbeda dengan Riau saat ini. Kabut asap akibat kebakaran lahan merupakan bencana tahunan  yang selalu dihadapi, tanpa adanya solusi kongkrit dari pejabat berwenang.  Kita tidak bisa menafikan adanya  indikasi kesengajaan, bukan hanya faktor cuaca atau lahan gambut yang mudah terbakar. Terkadang, pembakaran sengaja dilakukan untuk mengurangi kadar keasaman gambut hingga  bibit tanaman kelapa sawit bisa ditanam. Termasuk juga menutupi jejak ilegal loging :)

Banyak yang terlibat.
Sayangnya sudah berjalan sejak lama terutama sejak korporasi perusahaan besar ekspansi dan mengkonversi hutan gambut menjadi areal perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri menunjukkan pemerintah terkait lemah dan sengaja membiarkan pemicu utama kebakaran di Riau. Perusahaan seperti PT AALI, UNSP, SA, RAPP, RGM dll melalui anak perusahaan ataupun afiliasinya memiliki ratusan ribu hektar lahan sawit di Riau. Perkebunan sawit di Riau saat ini terbesar di Indonesia yakni 2,6 Juta Ha dari 9,27 Juta hektar secara nasional (sumber : Kementerian Pertanian per Desember 2012). Memang ada pemekaran rumput dengan cara membakar oleh petani kecil, namun dibandingkan dengan perusahaan besar dengan luas area ratusan ribu hektar, tidak ada artinya.

Dampak.
Prinsip ekonomi mengajarkan, tindakan dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya sedangkan tindakan ekonomi rasional mengajarkan, antara pengorbanan dan hasil harus mempertimbangkan kebutuhan mana yang harus didahulukan. Rasional secara nasional adalah saat kebutuhan bersama diatas kebutuhan pribadi. Jadi bisa dikatakan, kebanyakan perusahaan korporasi tersebut tidak menggunakan rasional dalam menjalankan prinsip ekonomi. Ini bisa dilihat dari akibat yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan yakni;

kabut asap (aktivitas ekonomi mandeg termasuk penerbangan dll), keselamatan dan kesehatan warga setempat terutama penyakit infeksi saluran pernapasan akut juga efek buruk kabut asap terhadap kesehatan dengan indeks standar pencemar udara (ISPU) di atas 700 atau berada di level sangat berbahaya bagi kesehatan.  Lebih buruk lagi, bahwa dalam waktu 4 sampai 6 tahun kedepan akan membuat kemunduran daya fikir, intelegensi, dan lainnya. Kualitas hidup jauh berkurang.

Lucunya.
Untung saja asap tersebut terbawa ke luar negeri Indonesia seperti Malaysia dan Singapura sehingga sejarah kebakaran asap di Riau sejak tahun 1997 mendapat perhatian dunia beberapa tahun belakangan ini. Jika anginnya tertiup ke Samudera Lautan Hindia, mungkin ceritanya akan lain.

Jalan keluar.


  1. Ada baiknya setiap perusahaan skala besar yang ingin   melakukan usaha di bidang perkebunan kelapa sawit wajib  memiliki sertifikat International Sustainable Palm Oil  (ISPO). Ini juga mencegah penanganan lahan sawit yang tidak ramah lingkungan.
  2. Dipastikan lagi perusahaan  yang memiliki izin usaha perkebunan dari Pemda juga memiliki  Hak Guna Usaha dan atau HTI. Ini semua harus sesuai peruntukannya.
  3. Pengawasan pemerintah terkait  korporasi yang tidak melakukan skema kemitraan dengan sistem plasma sehingga penduduk setempat hanya menjadi buruh.
  4. Setiap perusahaan asing yang ingin masuk berinvestasi di Indonesia agar memberikan deposit/jaminan lingkungan hidup sebesar minimal 10% dari total investasi sehingga jika dilanggar bisa dilakukan re-vegetasi pada lahan yang diberikan.
  5. Pembuatan kanal-kanal dengan sistem terbuka yang dilakukan perusahaan harus beralih menjadi kanal buka tutup. Karena dengan sistem seperti ini, pada musim kemarau kanal di tutup sehingga air gambut yang berada di kawasan tersebut tidak mengalir ke sungai. Jika air tidak mengalir, dan tetap berada di kawasan gambut membuatnya tetap terendam, maka api tidak akan mudah membakar gambut.
  6. Pemerintah lokal melakukan pencegahan tata guna lahan yang tepat (ah, kalau ini mah nunggu pemimpin daerah spt jokowi atau Nurdin Abdullah, baru bisa)


Demi keuntungan sesaat, kita semua harus menuai bencana yang terus berulang sepanjang tahun. Kabut asap di Riau terjadi setiap tahun sehingga tidak digolongkan sebagai bencana alam atau nasional namun karena adanya campur tangan manusia di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun