Mohon tunggu...
Ready Advancer
Ready Advancer Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya memposting apa yang hati saya katakan sebelum kepala saya mengarahkan tangan menulis apa yang saya inginkan. \r\n\r\nPerjuangan itu tidak mudah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Oknum Polisi dan Oknum Jaksa

12 Maret 2014   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oknum" biasanya digolongkan sebagai seseorang di dalam suatu institusi terhormat yang melakukan perkataan/perbuatan tidak baik. Namun dalam konteks tulisan ini, kami ingin memandang dari sisi yang berbeda yakni "Oknum" Jenderal Polisi bernama Alm. Hoegeng dan Oknum Jaksa Agung bernama Alm. Baharuddin Lopa. Mereka merupakan oknum di institusinya. Oknum adalah seseorang yang berbeda dengan mayoritas, sehingga oknum tidak menggambarkan isi dari institusi secara keseluruhan. Iya, mereka berdua memang oknum. Oknum dalam konteks berani memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Saat publik mendengar kata "oknum" maka tergambar kesan yang biasa karena seringnya mendengar/membaca kata tersebut dalam konotasi negatif. Perasaan hampa dan kerinduan publik atas "oknum" yang seperti Hoegeng dan Baharuddin Lopa membuat mereka ibarat pahlawan di tengah oase ketidakjujuran dan ketidakadilan di Negeri ini. Apa sebenarnya yang membuat "oknum" tersebut menjadi panutan. Jawabannya adalah "mereka melakukan tugas sebagai manusia". Saat Jendral Hoegeng dan Bpk  B. Lopa menjalankan tugas masing-masing di PolRi dan Kejaksaaan maka beliau mentaati sumpah jabatan dan sumpah kedinasan. Mereka menjalankan dengan sebaik-baiknya sumpah tersebut. Mereka menghargai diri mereka sebagai manusia yang akan diminta pertanggungjawaban di Lembaganya. Tuhan sebagai saksinya. Mereka berdua istimewa? Biasa saja, Jendral Hoegeng sebenarnya tak berhasil menangani dengan baik kasus penembakan mahasiswa ITB Rene Louis Coenraad dalam “Peristiwa 6 Oktober 1970” maupun Kasus Sum Kuning. Demikian juga Baharuddin Lopa, tak banyak diketahui orang, justru di masa Lopa pencekalan dihapuskan. Namun, bagaimanapun, mereka berdua adalah tokoh yang patut dijadikan model penegak hukum yang bisa diandalkan. Ibaratnya, masih ada kebaikan dan prestasi hukum yang dilakukan.  termasuk juga moral individu yang menjadi panutan. Mereka menjadi oknum (berbeda) di tengah mayoritas penegak hukum yang minim prestasi dan hati. Bahkan menghargai diri sendiri sebagai ekspektasi moral panutan sulit dilakukan. Mereka berdua bisa, itu membuat mereka menjadi berbeda. Mereka menjadi "oknum" panutan di tengah mayoritas yang berseliweran. Apakah bisa oknum menjadi klaim keberhasilan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun