Mohon tunggu...
Isidorus Lilijawa
Isidorus Lilijawa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Meneropong posibilitas...

Dum spiro spero

Selanjutnya

Tutup

Money

Prahara Ikan Kerapu

23 Juni 2021   19:02 Diperbarui: 23 Juni 2021   19:12 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tanggal 14 Juni 2021 lalu, di group WA yg penghuninya orang Riung, ada postingan foto-foto tentang kegiatan panen raya ikan kerapu di Waekelambu. Ada yg merespon begini: katanya panen raya kok foto-foto ikannya tidak ditampilkan? Saya menduga mungkin saat pengambilan gambar ikan-ikan kerapu itu 'malu' makanya tidak menampilkan diri ataukah memang ada ketidaksesuaian antara judul kegiatan 'panen raya' dgn fakta 'ikan kerapu' yg berhasil dipanen.

Sepekan berselang saya membaca informasi-informasi di media soal perihal budidaya ikan kerapu di tanah air kami, Waekelambu - Riung walaupun lidah kami orang Riung lebih nyaman dan lancar menyebutnya sebagai Labuan Kelambu itu. Muncul berita soal 'gagal total' budidaya ikan kerapu dgn teknik investigasi berbasis data dan fakta. Ah, benarkah budidaya ikan kerapu itu gagal? Benarkah ikan kerapu itu jadi prahara? Dugaan saya mulai terjawab. Foto-foto panen raya tanpa ikan kerapu yg raya, jangan sampai dipicu oleh 'kegagalan' ini.

Manusia itu makhluk ekonomi (homo economicus). Walau belajar ilmu ukur sedikit dan mungkin sekolah tidak tuntas, tetapi hitung-hitungan dasar pasti orang paham. Kalau investasi Rp 7,8 miliar dan hasil panen Rp 78,6 juta saja, maka itu namanya rugi. Bahasa orang kampung bilang itu kerja gila. Nah, bagaimana mungkin pemerintah mau investasi begitu besar tapi hanya untuk rugi? Pasti ada yg salah, ada yg tak beres, ada yg tak becus. Sayang disayang, proyek ketakberesan itu berlatar Waekelambu, tanah tumpah darah kami orang Riung.

Mengapa kerapu jadi prahara? Kita lihat fakta yg terungkap media. Pertama, Ada kerugian keuangan daerah (APBD NTT) sebesar Rp 7,7 miliar. APBD 2019 sebesar Rp 7,5 miliar dan APBD Perubahan TA 2020 Rp 300 juta. Nilai jual panen perdana ikan kerapu hanya 1% jika dibanding total anggaran untuk itu. Kedua, Bibit ikan kerapu yg ditabur 1 juta. Yang dipanen sekitar 4.000 ekor dengan total berat 1,9 ton. Hitungan rata-rata berat ikan kerapu yg dipanen hanya sebesar 0,5 kg. Ini jauh dari harapan dan mimpi besar di awal. Bahwa setelah ditabur di kolam dalam waktu 8 bulan melalui proses budidaya, bisa dipanen dgn berat 0,8 kg. Artinya ikan kerapu di Waekelambu itu mengalami 'malnutrisi' alias kurang gizi. Bisa juga menjurus ke stunting. Pertanyaannya, mengapa kerapu kurang gizi? Ketiga, pengadaan ikan kerapu sebanyak 1 juta benih. Yang dipelihara dalam 1 unit keramba di Waekelambu hanya 5.000 ekor. Sebanyak 990.000 ekor dilepas ke laut di teluk Waekelambu. Sebanyak 5.000 ekor lainnya ditebar di laut Mulut Seribu Kabupaten Rote Ndao. Nah, bagi saya yg awam soal urusan ini, bagaimana menghitung keuntungan terhadap ikan-ikan yg ditebar ke laut lepas itu? Mengapa tidak dibudidayakan dalam keramba sehingga bisa dikontrol? Bagaimana mengontrol ikan-ikan kerapu yg dilepas ke lautan itu? Sering berpikir soal ini bikin saya butuh bintang toejoeh.

Kembali ke pertanyaan dasar. Mengapa budidaya ikan kerapu di Waekelambu bisa gagal? Mungkin banyak faktor. Saya coba identifikasi beberapa. Pertama, pendekatan proyek tidak bisa dipakai dalam urusan pemberdayaan. Pertanyaannya, apakah budidaya ikan kerapu ini proyek atau program pemberdayaan? Karena program ini ditenderkan, maka aroma proyeknya kental. Kalau orang kerja proyek, profit itu yg dikejar. Tidak ada urusan hasil akhirnya seperti apa, yg penting diamankan dl keuntungannya. Nah, sepertinya dalam urusan ikan kerapu ini pendekatan proyek lebih diprioritaskan daripada pemberdayaan. Kalau ada sentuhan pemberdayaan, apa dampak positif bagi masyarakat setempat; apakah ada perubahan dalam skala ekonomi rakyat atau warga justru tidak dilibatkan.

Kedua, program ini mengindikasikan ego sektoral yg tinggi. Ini program provinsi, lalu orang-orang provinsi merasa mereka lebih tahu, lebih hebat, lebih berkuasa dan mereka atur sendiri urusan ini tanpa melibatkan pemerintahan di tingkat bawahnya, terlebih masyarakat di Riung sana. Dalam pendekatan pemberdayaan, program ini bukan lagi program provinsi tetapi harus menjadi program orang Riung, warga di sekitar daerah  Waekelambu itu. Ego sektoral itu membikin urusan pemberdayaan dibikin sebirokratis mungkin. Alhasil rakyat hanya jadi penonton saat peresmian, kunjungan pejabat dan saat panen raya. Selepas itu mereka tetap entitas yg tidak terlalu paham mengapa ada budidaya ikan kerapu di situ.

Ketiga, biasanya yg gizi buruk itu hanya manusia. Tetapi kalau ikan juga mengalami malnutrisi, maka ini jadi soal. Apakah anggaran untuk beli pakan ikan kurang? Ataukah cara memberi makan ikan-ikan itu yg salah? Atau bisa jadi jenis makanan itu membuat ikan-ikan kerapu itu 'mogok makan'. Ini kemungkinan-kemungkinan. Tetapi faktanya bobot ikan kerapu saat dipanen tidak sesuai harapan. Kondisi ini menegaskan bahwa untuk urusan ikan serahkan pada ahlinya. Penting untuk melibatkan orang-orang yg paham soal ini supaya proyek ini ada guna-gananya bagi rakyat.

Keempat, setiap program akan berhasil jika dibuat dengan perencanaan yg baik. Perencanaan itu menyangkut banyak aspek, mulai dari hulu ke hilir; mulai soal manajemen hingga hal-hal teknis. Tanpa perencanaan yg matang, sebagus apapun programnya akan mentok di bagian implementasi atau hasil yg dicapai tidak maksimal. Program ini bagus. Tentu tujuannya bagik pula. Cuma pelaksanaannya tidak becus karena memperlakuan uang rakyat seperti 'membuang garam ke laut'. Rugi.

Karena proyek ini sudah menjadi persoalan hukum, maka harapan kita agar proses hukumnya berjalan dgn semangat 'tajam' ke semua sisi. Seret semua pihak yg membuat budidaya ikan kerapu ini gagal dan menjatuhkan nama baik Waekelambu karena kegagalan proyek ini.

Ikan kerapu itu ikan elitis. Hamburkan APBD miliaran. Harganya pun fantastis. Namun sayang kerapu jadi tak laku gara-gara perilaku. Lebih baik ikan sara. Aroma menyengat mengundang selera. Murah meriah ikan populis. Jauh di mata dekat di rasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun