Mohon tunggu...
Isidorus Lilijawa
Isidorus Lilijawa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Meneropong posibilitas...

Dum spiro spero

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Nasib Buruh Migran NTT

4 Juni 2021   20:07 Diperbarui: 4 Juni 2021   20:17 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di masa pandemi Covid-19 saat ini, kisah tentang buruh migran NTT tak pernah sepi. Bahkan beberapa peti mati tetap berdatangan dari negeri lain. Ini seperti membuka tabir duka buruh migran NTT beberapa tahun lalu. 

Tahun 2018 hingga awal 2019 boleh dibilang tahun dukacita bagi buruh migran NTT yang mengadu nasib di negara lain. Bahkan di publik NTT sendiri, orang merasa biasa-biasa saja ketika keranda-keranda kematian, peti-peti mati anak NTT berdatangan. 

Ada beberapa pihak yang berusaha menggugat kondisi ini. Mereka tidak saja berorasi, tetapi beraksi. Namun tidak cukup dengan pergerakan sendiri ini. Peti jenazah datang silih berganti. Keseringan itu menjadi biasa. Lalu, hanya ada ungkapan-ungkapan pasrah. Mungkin ini sudah jalan hidup mereka (para buruh migran).

Lembayung dukacita buruh migran NTT dapat kita lihat dalam data ini. Sepanjang tahun 2018 NTT menerima 105 peti jenazah TKI. Dari jumlah sebanyak ini, hanya 3 orang yang prosedural. Bahkan hingga bulan April 2019, sudah 36 anak NTT yang meninggal karena disiksa, sakit penyakit dan kecelakaan di negeri jiran. Selama 4 bulan ada 9 kiriman peti mati. 

Setiap minggu kita dapat 1 atau 2 peti jenazah. Benar-benar memilukan. Ini yang membuat NTT menjadi terkenal. Terkenal pertama karena menjadi dapur buruh migran yang terus memproduksi buruh (TKI) ke luar negeri, prosedural maupun non prosedural. Terkenal kedua karena rutin menerima peti-peti mati buruh migran dari negara lain tanpa bisa melakukan hal-hal revolusioner.  

Ironi
Pernahkah kita bertanya, mengapa anak-anak NTT tetap memilih jalan hidup sebagai buruh migran ke negara lain, sementara 141 peti jenazah telah kembali ke NTT? Tentu banyak jawaban bisa lahir atas pertanyaan ini. Namun, jawaban saya adalah karena anak NTT nekad. 1) Anak-anak NTT nekad menjadi buruh migran meskipun tidak dilengkapi dokumen resmi (non prosedural). 2) Anak NTT nekad menjadi buruh migran keluar negeri dan tidak takut sama sekali pada bayang-bayang kematian. 141 peti jenazah itu tidak berefek. 3) Anak NTT nekad menjadi buruh migran karena mau merubah nasib. Lilitan rantai kemiskinan jadi faktor pendorong.

Ada faktor yang mendorong dan menarik mereka untuk selalu pergi meninggalkan kampung halamannya dan bertaruh hidup di daerah lain. Faktor penarik paling dominan adalah gaji yang tinggi, jenis pekerjaan yang akrab dengan kehidupan sehari-hari (tidak butuh keahlian tinggi). Daya tarik lainnya adalah pengalaman hidup di luar negeri yang menjanjikan, gaya hidup modern. 

Adapun faktor pendorong dominan adalah kemudahan karena boleh berhutang bahkan mudah memperoleh dokumen. Kondisi keluarga yang minim juga jadi pendorong. Selain itu, pengangguran, kerja tanpa bayar, tidak lanjutkan studi dan keberhasilan teman jadi pendorong berikutnya.  

Faktor ekonomi adalah alasan utama mengapa anak-anak NTT berbondong-bondong ke luar NTT sebagai TKI. Di NTT mereka merasa sulit mendapatkan pekerjaan. Lapangan kerja terbatas. Perputaran uang minim. Sementara kondisi keluarga yang pas-pasan secara ekonomi mendorong mereka untuk harus mencari uang di luar. Kebanyakan TKI adalah tulang punggung dan penyokong ekonomi keluarga. Jika sudah pakai logika ekonomi ini, maka segala cara bisa ditempuh. Itulah mengapa berbagai kasus kematian TKI NTT di luar negeri dan beragam penyiksaan tidak melahirkan efek jera bagi para pencari kerja ini.

Terkiat faktor kemiskinan, sepertinya ini jadi ironi bagi NTT. Pemerintah silih berganti. Setiap tahun, anggaran pembangunan untuk NTT triliunan rupiah. Belum lagi bantuan dari lembaga dan negara donor. Itu berarti, dengan dana yang ada sebenarnya persoalan kemiskinan, pengangguran, ketiadaan lapangan kerja, upah yang rendah, pendidikan rendah bisa diatasi. Namun, mengapa ini masih sulit di NTT? Malah saat ini kita dihadapkan pada sebuah ironi. 

Uang banyak mengalir ke NTT, tapi banyak orang NTT lebih suka mencari uang di negeri orang. Setiap tahun triliunan dana pembangunan dialokasikan ke NTT. Itu yang ada dalam APBD. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun