Mohon tunggu...
Ilham Hanifil Ishom
Ilham Hanifil Ishom Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Gerakan Sosial Pada Reformasi di Tahun 1998

10 Mei 2014   20:27 Diperbarui: 4 April 2017   17:34 4349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketidak-becusan para agen pemerintah orde baru di penghujung tahun 90-an, mengakibatkan terjadinya krisis moneter dan menyebabkan banyak terjadinya pergolakan menentang rezim orde baru yang pada saat itu menjadikan sosok Soeharto sebagai presiden yang berkuasa lebih dari tiga dekade. Selain pada masalah krisis moneter pada saat itu, rezim Soeharto juga menjadi sorotan internasional karena kasus pelanggaran HAM, sempitnya kebebasan dalam demokrasi dan berbagai permasalahan lainnya. Sementara itu di dalam negeri, kekuasaan Soeharto yang tanpa pengawasan dari pihak oposisi yang dilemahkan melalui manipulasi ekonomi, politik, dan hukum menyebabkan rezim tersebut bagaikan pemerintahan yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas terhadap rakyatnya. Hal ini terjadi berpuluh-puluh tahun selama periode kekuasaan Soeharto yang katanya mendapatkan mandat kekuasaan dari supersemar oleh presiden Soekarno.

Tak adanya perlawanan dan pengawasan ini juga tak lepas dari strategi politik yang digunakan Soeharto yang disusun secara rapi untuk mengelabui lawan politiknya. Tak hanya lawan politik saja yang dilumpuhkan, namun mahasiswa yang seyogyanya sebagai mata dan penyambung lidah rakyat dan sebagai penerus masa depan bangsa juga ditertibkan sejak tahun 1978. Soeharto mengembalikan “fungsi” sebenarnya mahasiswa sebagai aktor pembangunan bukan sebagai aktor politik yang selalu mengkritisi pemerintah, proses ini menurut rezim Soeharto adalah mem”pemudakan” kembali mahasiswa (Soewarsono, 1999). Lewat suatu badan yang didirikan oleh pemerintahan orde baru bernama KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang dibentuk npada tahun 1973, rezim orde baru mengkonsolidasikan program “mempemudakan” mahasiswa dan mengkontrolnya. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri P dan K No. 01/V/1978 sebagai respon pemerintah terhadap gerakan mahasiswa tahun 1978, konsep student politics dengan Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa sebagai lembaga-lembaga utamanya, kampus sebagai satu-satunya arena, dan tokoh-tokoh ormas mahasiswa sebagai para pemimpin utama menjadi tidak lagi nampak (Soewarsono, 1999). Namun dari sinilah bentuk perlawanan lain mahasiswa yang nantinya memberikan hadiah yang dinanti-nanti oleh rakyat Indonesia dengan apa yang disebut reformasi yang memberikan demokrasi seutuhnya.

Menjelang akhir rezim orde baru berakhir tepatnya pada tahun 1996 hingga 1998 pergerakan perlawanan mahasiswa bertransformasi menjadi gerakan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Menurut rezim orde baru saat itu OTB merupakan bentukan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh berfaham komunis untuk mengelabui mahasiswa untuk menjadi anggotanya. Pemerintahan rezim orde baru merepresentasikan PRD sebagai biang keladi kekerasan yang terjadi pada 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai peristiwa kudatuli dan menjadikan PRD identik dengan PKI. Padahal PRD sebetulnya hanyalah pergerakan buruh yang menuntut dicabutnya 5 paket undang-undang politik tahun 1985 dan dicabutnya dwifungsi ABRI. Tuntutan-tuntutan itulah yang membuat mahasiswa yang tidak memiliki kesatuan organisasi yang terorganisir semenjak tahun 1978 untuk ikut bergabung dan berpindah-pindah dari satu LSM ke LSM lainnya, karena menurut mereka dengan bergabung LSM mereka bisa menghindari undang-undang yang mem”pemudakan” lagi mahasiswa dan melakukan perlawanan untuk menggulingkan pemerintahan orde baru. Sehingga pada rentang waktu 1996 hingga 1998 mahasiswa menjadi ”kutu loncat” LSM, atau lebih dikenal sebagai gerakan OTB ke OTB. Namun dalam konteks Oposisi Indonesia OTB adalah singkatan Oposisi Telah Berdiri (Soewarsono, 1999). Inilah yang menjadi tombak gerakan perlawanan mahasiswa di tahun 1998.

6 Struktur Tahapan Gerakan Sosial Pada Reformasi 1998

Untuk mengidentifikasi tahapan-tahapan timbulnya gerakan sosial dan politik mahasiswa pada era berlangsung hingga berakhirnya orde baru, struktur tahapan gerakan sosial menurut Neil Smelser bisa mengidentifikasinya. Neil Smelser mendiskripsikan setidaknya terdapat 6 struktur tahapan gerakan sosial bisa terjadi. 6 struktur tahapan gerakan sosial tersebut adalah structural conduciveness, structural strain, spread of a generalized belief, precipitating factor, mobilization of participant for action, dan operation of social control.

Pada awal pemerintahan Soeharto rakyat merasakan apa yang mungkin dinamakan welfare state dimana hampir setiap kebutuhan masyarakat saat itu mampu dipenuhi oleh pemerintah. Kesejahteraan masyarakat pada saat itu bisa terlihat dari kemampuan pemerintah untuk berswasembada bahan pangan di dalam negeri selama 5 tahun antara tahun 1984 – 1989. Selain itu lewat program revolusi hijaunya pemerintah berhasil mengelola pertanian dengan sangat baik, cukup untuk membuat para petani tersenyum kala itu. Revolusi hijau diterapkan oleh rezim Soeharto dengan nama gerakan bina masyarakat (bimas). Perubahan fundamental tersebut sangat dirasakan banyak orang, karena pada era Soekarno banyak masyarakat kala itu khususnya para petani mengalami banyak kemelaratan akibat gagalnya pelaksanaan pembaruan pada bidang agraria yang terjadi antara tahun 1960 – 1965. Fase-fase inilah yang disebut oleh Neil Smelser sebagai structural conduciveness atau masa kondusif sosial.

Masa-masa ketegangan atau structural strain terjadi saat rakyat mulai merasa dibohongi dan “dipaksa” untuk diam tidak turut ikut campur dalam menentukan kebijakan. Ditambah lagi penekanan-penekanan yang dilakukan pemerintah terhadap LSM-LSM dan peniadaan organisasi massa mahasiswa menjadi triger ketegangan antara rakyat dengan pemerintah. Kesenjangan masyarakat secara ekonomi akibat krisis moneter diawal 1997 dan kesenjangan politik yang dilakukan rezim Soeharto baik dalam kebijakan ataupun dalam pelaksanaan kebijakannya semisal pelaksanaan pemilu yang terkesan tidak mengedepankan LUBERJURDIL telah membuat sebagian besar rakyat Indonesia jengah. Rakyat pun gelisah dengan keadaan mereka yang dipimpin oleh rezim otoriter yang semakin hari semakin tidak jelas kearah mana mereka akan dipimpin. Rakyat yang waktu itu dimotori oleh mahasiswa dan berbagai agen agen LSM berduyun-duyun menyalahkan rezim orde baru sebagai biang keladi terjadinya berbagai keburukan yang terjadi saat itu. Penghilangan para aktivis, krisis moneter, maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat spread of a generalized belief (SGB) yang dilakukan agen-agen reformasi dalam menyalahkan pemerintah menjadi mudah diterima masyarakat. SGB sendiri merupakan suatu fase pembentuk gerakan sosial dimana penyebaran rumor yang dilakukan oleh mahasiswa dan aktivis perlawanan orde baru menjadi kepercayaan akibat dari hasil pencarian prima-kausa akar permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan penyebab dari semua itu adalah rezim orde baru. Disinilah peran para mahasiswa sebagai demagoguery.

Penyebaran kepercayaan atas mosi tidak percaya terhadap pemerintah pada tahun 1998 telah mencapai puncaknya. Banyak terjadi demonstrasi besar-besaran di berbagai kota besar di Indonesia. Di Yogyakarta misalnya, di alun-alun keraton hampir satu juta massa berhasil dikumpulkan oleh fampera yang bekerjasama dengan komite-komite aksi di Yogyakarta dan juga dihadiri oleh Sri Sultan HB X dan Rektor UGM Prof. Dr. Ichsanul Amal (Murdian, 1999). Sementara itu penjarahan barang komoditas dagang terjadi dimana-mana yang menyebabkan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Suasana yang seperti ini disebut oleh Neil Smelser adalah precipitating factor yang mana gerakan sosial sudah berada di titik kulminasinya dan hanya tinggal menunggu pemantik untuk terjadinya gerakan sosial itu berlangsung.

Mobilization of participants for action terjadi ketika puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR RI sebagai bentuk protes mereka untuk mempercepat penurunan Soeharto sebagai presiden. Disinilah tokoh-tokoh poros tengah seperti Megawati, Abdurrahman Wahid, dan Amin Rais muncul sebagai pengkoordinir mahasiswa untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Alhasil pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.02 WIB, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya yang tentunya disambut sorak-sorai para demonstan khususnya yang berada di gedung DPR RI yang menjadi pusat demonstrasi di Indonesia. Setelah mundurnya Soeharto, B.J. Habibie ditunjuk untuk menggantikan Soeharto sebagai presiden sementara sampai diadakannya pemilu kembali. Disinilah operation of social control dijalankan oleh pemerintahan baru B.J. Habibie dalam memenuhi tuntutan massa dan untuk mengendalikan gerakan sosial mahasiswa agar tidak menjadi lebih parah.

Tiga Tipe Pemimpin dalam Reformasi 1998

Terdapat tiga tipe pemimpin dalam gerakan sosial untuk bisa menjalankan gerakan sosial tersebut bisa terjadi. Men of Words adalah tipe pemimpin gerakan sosial yang pertama. Tipe-tipe ini biasanya memiliki ideologi yang kuat dan terdiri dari kalangan terdidik, menengah dan atas (Aribowo, 2012). Mereka menyebarkan belief mereka melalui orasi-orasi ataupun tulisan-tulisan yang mampu mempresuasi penikmatnya. Mereka adalah The True Believers yang memiliki dogma, program yang mereka tawarkan, dan orasi-orasi yang membuat jiwa bergetar. Tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan seperti ini adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Megawati, Sri Sultan HB X, Soleh Salahudin, dan lain lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun