Mohon tunggu...
Ilham Hanifil Ishom
Ilham Hanifil Ishom Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memelihara Pluralitas Beragama dan Berkeyakinan sebagai Pondasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia

14 Juli 2014   04:10 Diperbarui: 4 April 2017   16:29 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Tidak boleh ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan, serta ideologi”. - Abdurrahman Wahid (Bernas. 2001)

Sebuah pernyataan dari guru bangsa kita Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membuat saya termotivasi untuk menulis sebuah tulisan mengenai ide pluralisme. Tulisan ini bertujuan untuk menjabarkan pluralisme (paham keberagaman) di Indonesia yang bertujan untuk memelihara toleransi di tengah-tengah keberagaman masyarakat Indonesia,sesuai dengan nilai UUD 1945 dan Pancasila. Dengan maksud agar terciptanya Indonesia yang bergotong-royong sesuai amanat UUD 45. Tidak bisa dipungkiri bahwa jika seseorang hidup sebagai masyarakat Indonesia haruslah menerima adanya perbedaan yang telah mengakar dalam kebudayaan kita.

Dalam bukunya Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia Karlina Helmanita (2003; 5-6) menuliskan pluralitas di Indonesia sebetulnya bisa menjadi peluang tetapi juga tantangan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Dikatakan sebagai peluang dikarenakan kalau pluralitas itu bisa ditangani secara tepat, kemungkinan konflik itu berubah menjadi dukungan moral, etis, spiritual yang positif bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Dan dikatakan sebagai tantangan, karena keragaman agama dan kebudayaan dapat menjadi konflik yang sangat serius disebabkan nilai – nilai moral, etis, spiritual agama dan kebudayaan di dunia bersifat inherent, terutama karena belum berpengalaman hidup dalam satu lingkungan sosial yang sama dan dapat memicu terciptanya konflik – konflik baru.

Konflik – konflik tersebut amatlah sering terjadi pada masa pra reformasi. Pada masa Soeharto beberapa etnis dan kelompok tertentu dilarang melakukan ritual – ritual mereka, seperti pembatasan kebebasan berorganisasi, penghilangan segala simbol - simbol Tionghoa hingga pelarangan acara kebudayaan Tionghoa yang sejatinya UUD 1945 menjamin kebebasan masyarakat Indonesia dalam melakukan hal yang diyakininya.

Namun sebetulnya jika ditarik lebih kedalam, pembedaan etnis ini telah terjadi jauh pada masa pendudukan VOC di Indonesia. Pada masa itu VOC yang memerintah Hindia – Belanda membedakan masyarakat dalam tiga golongan kasta, yaitu golongan Eropa sebagai kasta tertinggi, golongan Timur Asing (China, Arab dan lain – lain) serta pribumi sebagai golongan kasta terendah. Fenomena ini menyebabkan rasa kebencian pribumi terhadap golongan – golongan diatasnya, walaupun begitu sepertinya kebencian itu hanya terjadi pada golongan etnis Tionghoa (China) saja dikarenakan dengan berjalannya seiring waktu para golongan Eropa dalam hal ini orang Belanda pergi meninggalkan Indonesia selepas tahun 1945. Golongan Tionghoa yang waktu itu memang menguasai ekonomi di Indonesia semakin membuat rasa benci orang – orang pribumi terhadap etnis Tionghoa ini.

Selanjutnya pasca kemerdekaan Republik Indonesia terjadi beberapa kerusuhan yang bernuansa kebencian terhadap etnis Tionghoa, seperti pembunuhan massal terhadap etnis Tionghoa di Jawa dalam periode 1946 – 1948, pertengkaran antara pribumi dan etnis Tionghoa yang berujung pembakaran di ITB Bandung tahun 1963. Tidak hanya itu pada masa pemerintahan orde lama pernah muncul program di bidang ekonomi bernama “benteng” untuk membatasi kegiatan perekonomian etnis Tionghoa dan memberikan kesempatan ekonomi tersebut kepada kaum pribumi.

Pluralisme di Mata Masyarakat Indonesia Masa Kini

Berkaca pada sejarah sebetulnya Indonesia merupakan tempat bertumbuhnya pluralitas dikarenakan Indonesia pernah dikuasai oleh beberapa kerajaan yang berlatarkan dari berbagai agama, sebut saja Sriwijaya dengan agama Buddha-nya, Majapahit dengan agama Hindu Buddha-nya, lalu Demak dengan agama Islamnya. Ketiga kerajaan tersebut merupakan kerajaan – kerajaan yang memiliki kebudayaan tinggi dan memiliki rasa toleran yang tinggi terhadap perbedaan.

Tentunya kita tahu bahwa Sriwijaya adalah kerajaan Maritim terbesar di Asia Tenggara yang pernah ada. Besarnya daerah dan pengaruh dari kerajaan Sriwijaya tidak lepas dari peranan agama Buddha yang mengajarkan welas asih digunakan sebagai pandangan berpolitik oleh raja – rajanya. Pada masa keemasan Sriwijaya yakni pada abad sekitar 7-9 Masehi banyak para pedagang dan pelaut dari luar negeri yang memilih kerajaan Sriwijaya sebagai tempat besinggah, terutama dari Arab, China, India. I-tsing salah satu pengembara dari China memiliki ketertarikan sendiri terhadap kerajaan Sriwijaya, ia menuliskan bahwa ia belajar mempelajari bahasa Sansekerta selama 6 bulan di kerajaan Sriwijaya lalu ia pergi ke India selama 10 tahun dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta di Universitas Nalanda,total ia tinggal di Sumatera selama kurang lebih 10 tahun. I-tsing juga menuliskan bahwa Sriwijaya memiliki 1000 pendeta dari India untuk mengajari masyarakatnya akan pemahaman Buddha (Bottenberg, 2010). Dari tulisan I-tsing diatas diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan Buddha yang menerima pluralitas dengan menerima orang – orang dari berbagai wilayah untuk menetap di wilayahnya, terlebih lagi Sriwijaya memiliki 1000 pendeta yang berasal dari India,ini menujukkan bahwa sistem kebudayaan yang ada di Sriwijaya memiliki komposisi yang beragam dan amat menghargai perbedaan.

Maju beberapa abad dari masa kejayaan Sriwijaya ada sebuah kerajaan Hindu-Buddha di Jawa,Majapahit. Majapahit merupakan induk cikal-bakal terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara filosofis nama Indonesia diambil dari sebuah kitab yang dibuat pada masa kerajaan Majapahit yaitu Negarakertagama. Pengaruh Majapahit bahkan lebih luas ketimbang kerajaan Sriwijaya yaitu seluruh daerah NKRI saat ini ditambah dengan sebagian besar daerah Asia Tenggara. Yang menarik pada tahun 1400an yaitu pada masa kejayaan Majapahit banyak etnis Tionghoa yang berasal dari China menjalani ekspedisi besar – besaran keluar dari daratan China. Khusus di Asia Tenggara dimana pengaruh Majapahit sangat kuat, para kaum China rantau ini mendirikan komunitas sendiri dan uniknya mereka mayoritas adalah beragama Islam, lalu seiring berjalannya waktu komunitas Islam China ini terserap oleh komunitas pribumi Asia Tenggara. Komunitas Islam China ini mayoritas berasal dari daerah Sin Chiang (Wahid, 1998; 168). Secara tak langsung terdapat penerimaan pluralitas pada waktu itu dimana pribumi yang beragamakan Hindu dan Buddha menerima kedatangan kaum China Islam yang notabene secara agama, ras, suku, dan budaya sangatlah berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun