Serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel telah memunculkan banyak perdebatan terkait penerapan hukum humaniter internasional. Hukum ini dirancang untuk melindungi mereka yang tidak terlibat dalam konflik, seperti warga sipil, sekaligus membatasi cara dan metode perang yang dapat digunakan. Dalam kasus serangan Hamas, muncul pertanyaan serius tentang apakah tindakan mereka melanggar prinsip-prinsip hukum humaniter seperti pembedaan, proporsionalitas, dan keharusan. Sebagai kelompok non-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata, Hamas tetap memiliki tanggung jawab untuk mematuhi aturan hukum humaniter internasional. Serangan roket yang mereka lancarkan ke wilayah Israel sering kali tidak memperhatikan perbedaan antara target militer dan sipil. Tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip pembedaan, yang mengharuskan semua pihak dalam konflik untuk membedakan antara kombatan dan non-kombatan serta sasaran militer dan objek sipil. Ketika serangan diarahkan ke area pemukiman atau infrastruktur sipil tanpa alasan militer yang jelas, hal ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang.
Prinsip lain yang dipermasalahkan adalah proporsionalitas. Dalam hukum humaniter, segala tindakan militer harus memperhitungkan dampaknya terhadap warga sipil, di mana kerusakan tidak boleh lebih besar dari keuntungan militer yang diharapkan. Namun, serangan roket tanpa pandang bulu dari Hamas sering kali dianggap tidak mematuhi prinsip ini. Di sisi lain, respons militer dari Israel juga kerap mendapat kritik tajam karena dinilai melampaui batas proporsionalitas, terutama ketika serangan balasan mereka menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar. Selain itu, penggunaan warga sipil sebagai perisai manusia oleh Hamas menjadi sorotan besar. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa mereka menempatkan peluncur roket di dekat kawasan pemukiman atau fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit. Tindakan semacam ini melanggar hukum internasional karena menempatkan warga sipil dalam bahaya, menjadikan mereka korban dari kedua belah pihak yang bertikai.
Bagi sebagian pihak, tindakan Hamas dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Meski begitu, hukum humaniter tetap harus ditegakkan dalam setiap konflik, tanpa memandang motif politik atau ideologi dari pihak yang bertikai. Konflik ini memperlihatkan bagaimana rumitnya penerapan hukum perang dalam situasi yang tidak seimbang, di mana satu pihak adalah kelompok non-negara dengan kemampuan terbatas, sementara pihak lain adalah negara dengan kekuatan militer besar. Tantangan untuk menegakkan hukum secara adil masih terus menjadi pekerjaan rumah bagi komunitas internasional. Situasi ini juga menegaskan perlunya langkah nyata untuk melindungi warga sipil yang sering kali menjadi korban utama dalam konflik berkepanjangan.
Serangan yang dilakukan Hamas terhadap Israel memperlihatkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional. Salah satu dasar hukum utama yang harus diperhatikan adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I, yang mengatur perlindungan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata. Pasal 48 Protokol Tambahan I menegaskan pentingnya prinsip pembedaan, yang mengharuskan pihak yang terlibat dalam konflik untuk membedakan antara kombatan dan warga sipil. Serangan roket yang dilakukan Hamas, yang kerap kali tidak membedakan antara target militer dan sipil, jelas melanggar prinsip ini. Selain itu, prinsip proporsionalitas yang diatur dalam Pasal 51 dan 57 Protokol Tambahan I juga terlanggar. Pasal 51 menekankan bahwa serangan yang menimbulkan kerugian sipil yang berlebihan atau kerusakan pada objek sipil yang tidak proporsional terhadap keuntungan militer yang dapat diperoleh adalah dilarang. Serangan roket yang tidak terarah ini bisa dianggap tidak proporsional, mengingat dampaknya yang besar terhadap warga sipil yang tidak terlibat dalam konflik.
Pelanggaran juga terjadi dari pihak Israel dalam menghadapi serangan tersebut. Blokade Gaza yang diterapkan Israel, meski bertujuan untuk membatasi pergerakan Hamas, sering kali mengarah pada pelanggaran Pasal 33 Konvensi Jenewa IV. Pasal ini melarang penghukuman kolektif terhadap warga sipil, termasuk pembatasan terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, obat-obatan, dan akses ke fasilitas medis. Blokade ini berkontribusi pada krisis kemanusiaan di Gaza, yang memperburuk kondisi warga sipil dan memperpanjang siklus kekerasan. Piagam PBB juga memberikan dasar bagi penilaian terhadap tindakan kedua pihak. Pasal 51 Piagam PBB mengakui hak negara untuk membela diri dalam menghadapi serangan, namun hak ini harus dijalankan dengan memperhatikan prinsip proporsionalitas. Tindakan militer yang dilakukan Israel, seperti pemboman yang sering kali mengenai wilayah sipil, menunjukkan bahwa serangan balasan mereka juga dapat dianggap melanggar prinsip tersebut.
Meskipun sejumlah instrumen hukum internasional ini ada untuk melindungi warga sipil dan mengatur tindakan militer dalam konflik bersenjata, penerapannya sering kali terbentur pada kenyataan bahwa tidak ada mekanisme penegakan hukum yang efektif. Statuta Roma yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengatur tentang kejahatan perang, namun tidak ada pihak yang secara tegas diadili dalam kasus ini. Hal ini menciptakan kesenjangan besar dalam penerapan hukum internasional, di mana tindakan yang merugikan warga sipil tetap terjadi tanpa adanya sanksi yang memadai. Selain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak sipil, pelanggaran terhadap hak-hak ini menjadi sorotan utama. Hak hidup, kebebasan, dan keamanan yang terancam akibat tindakan militer dari kedua belah pihak merupakan pelanggaran berat yang harus mendapatkan perhatian serius dalam penyelesaian konflik ini. Dasar hukum yang ada menggambarkan bahwa tindakan militer yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ini berkontribusi pada terjadinya pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Dengan tidak adanya penegakan yang konsisten, kerugian yang ditanggung oleh warga sipil akan terus berlangsung tanpa ada kejelasan mengenai akuntabilitas dari pihak yang bersalah.
Serangan yang dilakukan oleh Hamas terhadap Israel dan respons Israel terhadapnya menyoroti pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Dalam konteks ini, serangan yang menyasar warga sipil dan infrastruktur sipil menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip pembedaan, yang mengharuskan pihak yang berperang membedakan antara sasaran militer dan nonkombatan. Begitu juga, respons Israel yang tidak proporsional dengan menyerang warga sipil serta penggunaan senjata yang dilarang seperti bom fosfor putih semakin memperburuk pelanggaran hukum internasional yang berlaku. Kebijakan blokade Gaza oleh Israel juga melanggar hak-hak warga sipil di sana, yang seharusnya mendapat perlindungan sesuai dengan Konvensi Jenewa IV. Penggunaan kekuatan berlebihan oleh kedua belah pihak tanpa memperhatikan hukum humaniter internasional menciptakan penderitaan yang lebih dalam bagi masyarakat sipil, yang seharusnya dilindungi. Penting adanya penegakan dalam hukum humaniter dengan tegas dan memastikan bahwa pelaku pelanggaran, baik Hamas maupun Israel, dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka. Hanya dengan demikian, ada harapan untuk menghentikan kekerasan dan memastikan keadilan serta perlindungan bagi warga sipil yang menjadi korban dalam konflik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H