Sejak 30 April 2013, Belanda memiliki raja baru, Raja Alexander Willem. suatu rentang waktu hampir 114 tahun. Selama ini negara yang mayoritas terdiri atas laut tersebut dipimpin oleh ratu: Ratu Wilhelmina (1898-1948), Ratu Juliana (1948-1980), dan Ratu Beatrix (1980-2013). Semua ratu tadi mengundurkan diri dan tidak menjabat seumur hidup lazimnya seorang pemimpin monarki. Ratu Wilhelmina dinobatkan menjadi ratu saat Belanda masih menguasai Indonesia, yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda. Ratu Juliana naik tahta saat kolonialisme diantara para politisi Belanda kembali merasuk sehingga Indonesia harus mengalami Agresi Militer Belanda. Dan Ratu Beatrix naik tahta saat Indonesia memasuki masa Orde Baru tetapi belum mengakui kemerdekaan Indonesia, kecuali bersikukuh bahwa Indonesia merdeka sejak penyerahan kedaulatan 1949. Beatrix pernah melakukan kunjungan kenegaraan (staatsbezoek) ke Indonesia tahun 1995. Terakhir Raja Alexander Willem naik tahta saat Indonesia telah lebih dari 10 tahun mengalami perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang signifikan dan ketika dunia sudah berkembang menjadi multipolar.
Nampaknya, Indonesia dengan Belanda tidak pernah memiliki hubungan postcolonial yang emosional, tidak seperti Inggris terhadap bekas jajahannya (yang dihimpun dalam Commenwealth of Nations) atau Prancis terhadap negara-negara di Afrika, sekalipun cukup lama Belanda sebagai penjajah menguasai sebagian besar Nusantara. Sesudah generasi 1970-an, sudah pudar orang-orang yang fasih menguasai Bahasa Belanda, bahkan berbagai kebijakan politik dan ekonomi pun tidak ada yang mengikuti model Belanda.
Saya pada Oktober 2012-Januari 2013 yang lalu berkesempatan tinggal “sementara” di Negeri Belanda untuk keperluan Sandwichlike Program di Utrecht University. Begitu seringnya saat sekolah nama Belanda disebut-sebut sebagai penjajah, maka membuat saya bertekad suatu saat harus bisa menginjakkan kaki salah satu anggota Uni Eropa itu. Program dan berbagai komunikasi yang saya lakukan dalam Bahasa Inggris, sehingga tidak ada kesempatan berinteraksi secara akrab dengan kultur negara itu. Dalam perbincangan dengan orang-orang Belanda, terutama generasi muda, seusia mahasiswa/mahasiswi, nampak sedikit diantara mereka yang mengenal Indonesia. Rupa-rupanya sudah sejak dekade 1960-an, mata pelajaran Sejarah di Belanda tidak menguraikan aktivitas pendahulu mereka yang menjajah Indonesia. Aneh sekali!
Dan saya yakin, tidak ada persiapan penyambutan di kalangan kerajaan atau Parlemen Belanda yang mempertimbangkan apakah Presiden Indonesia layak diundang atau tidak dalam penobatan raja baru itu. Mungkin juga di saat pengukuhan Ratu Juliana atau Beatrix, tidak ada pertimbangan itu.
Padahal saat merencanakan penobatan Ratu Wilhelmina (31 Agustus 1898), Menteri Daerah Jajahan Crammer sempat berdebat dengan kalangan Tweede Kamer (Majelis Rendah) Belanda pada Agustus 1897 apakah perlu mengundang kalangan pribumi atau tidak. Usul itu untuk menanggapi pemberitaan koran Soerabaiasch Handelsblad mengenai harapan agar pribumi diundang dalam perhelatan itu. Di sini akan dikutipkan sebagian dari publikasi itu:
“Kami orang Eropa”, kata koran itu,” di sini kecil jumlahnya, maka tanda penghormatan dari kami sendiri saja tidak akan menunjukkan ciri nasional. Penduduk pribumi di sini merupakan mayoritas, maka tanda penghormatan yang merek asampaikan bersama kami akan memiliki cap tersendiri. Hal ini dapat dilakukan sebaik-baiknya dengan mengirimkan utusan atau wakil ras-ras utama dan para kepala ras yang lebih kecil. Dari Jawa, misalnya, seorang Bupati, seorang wedana, seorang asisten wedana, dan satu pemerintahan desa penuh;…Utusan itu akan menyampaikan penghormatan Hindia dan mewakili seluruh penduduk tanah jajahan dalam pesta penobatan Ratu.”
Dalam sesi perdebatan itu sebanyak 20 anggota Tweede Kamer mengajukan usul penyiapan dana sebesar f75.000 guna menyambut para “pembesar Pribumi dan tokoh-tokoh lain dari Hindia Belanda pada waktu penobatan Sri Baginda Ratu.” Semula Cremmer menolak gagasan itu. Dikatakan oleh sang menteri:
”Mengenai kedatangan mereka itu sudah dilakukan pembicaraan dengan Pemerintah Hindia. Tidak ada maksud pemerintah Hindia maupun Kabinet untuk mengundang raja-raja atau kepala-kepala pribumi datang ke sini; dan tidak ada juga desakan kepada mereka untuk datang. Kalau mereka datang kemari, maka mereka datang atas kehendak sendiri dan juga dengan biaya sendiri, itulah terutama pendapat Pemerintah Hindia. Kalau tidak demikian, dana yang diusulkan oleh para pengusul itu pun tidak bakal mencukupi, sebab sudah jelas dengan sendirinya bahwa raja-raja itu terbiasa melakukan perjalanan lengkap dengan kemegahan dan pengiringnya, dan biaya untuk itu tak tertutup oleh dana tersebut.”
Lihatlah. Seluruh argument Menteri Crammer jelas menunjukkan adanya pertimbangan “etis”, kecongkakan imperial, dan kepelitan Belanda yang sudah kondang itu.
Walaupun demikian perdebatan akhirnya menyepakati bahwa hanya jumlah sangat kecil yang disetujui susunan delegasi Hindia Belanda untuk datang di penobatan itu. Sunan Pakubuwono X mengirimkan saudara laki-lakinya, Pangeran Haryo Mataram, yang berangkat ke Belanda dengan beberapa putranya yang masih muda belia. Sultan Deli dan putra Sultan Kutai di Kalimantan.
Konon saat datang di penobatan Wilhelmina, koran dan majalah di Belanda menyambut secara antusias kedatangan tersebut dan memberikan wawancara ala kadarnya. Para utusan itu juga bertatap muka dengan ibu suri, Ratu Emma, serta mengikuti acara kunjungan ke berbagai obyek menarik. Masing-masing disertai seorang pemandu dan pembantu Indonesia.
Namun, rupanya dalam penobatan di tahun 2013 tersebut, perdebatan hampir 117 tahun yan glalu seperti di Tweede Kamer dengan Menteri Daerah Jajahan tidak terjadi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H