Pada tahun 2008, Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan dan melepaskan diri dari Serbia. Organ pengadilan PBB—Mahkamah Internasional—yang berkedudukan di Den Haag, Belanda memutuskan bahwa tindakan Kosovo itu sah dan tidak bertentangan dengan hukum internasional.
Apa yang menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional untuk memberikan legitimasi atas tindakan Kosovo? (1) ada perbedaan besar menyangkut etnis, Bahasa, dan atau agama dibandingkan dengan negara induk; (2) situasi pemerintahan dan perubahan politik terbaru di negara yang bersangkutan; (3) kemampuan penduduk setempat untuk membentuk pemerintahan; dan (4) keinginan mayoritas warga setempat untuk memisahkan diri. Bukankah ini sama dengan yang menimpa Crimea?
Serbia dan juga Rusia pada waktu itu berang dan menganggap tindakan Kosovo itu merupakan penghinaan besar terhadap kedaulatan dan integritas territorial nasional. Mereka juga jengkel melihat AS dan negara-negara Eropa terburu-buru untuk mengakui kemerdekaan Kosovo. Sejarah itu masih merupakan isu panas di kawasan Balkan.
Tetapi, dengan peristiwa referendum di Crimea—menyusul krisis politik di Ukraina__yang mengatakan bergabung dengan Rusia, merupakan sejarah yang berulang dengan apa yang terjadi di Kosovo 6 tahun lampau.
Analis Barat, yang cenderung memihak Ukraina, nampaknya melupakan sejarah bahwa ada alasan historis yang lebih tepat bagi Crimea untuk melepaskan diri dari Ukraina dibandingkan yang menimpa Kosovo.
Tahun 1954. Pemimpin Soviet Nikita Kruschev, dalam rangka memperingati “beradab-abad relasi Rusia dan Ukraina” telah dengan sukarela menyerahkan teriritoral Crimea kepada Ukraina. Semua itu dianggap sebagai hadiah istimewa bagi Ukraina.
Bayangkan, sebuah wilayah yang luas diberikan begitu saja laksana memberikan bingkisan kepada anak kecil yang berulang tahun. Tetapi ada kasus serupa.
Tahun 1468, Raja Christian I, penguasa Norwegia, memberikan Kepulauan Orkeney kepada kerajaan Skotlandia, sebagai hadiah perkawinan diantara anak-anak mereka.
Tetapi, jika dilacak dalam perkembangan selanjutnya, keputusan Kruschev untuk menyerahkan Crimea hanyalah bersifat simbolik. Pengaruh Rusia tetap saja merasuk dalam kehidupan rakyat Crimea. Mayoritas penduduk Crimea adalah keturunan Tartar dan Rusia, yang berkiblat ke Rusia, dan sangat sedikit yang bercakap dalam Bahasa Ukraina.
Transfer kekuasaan itu di bawah kendali Uni Soviet yang sulit untuk diubah. Kemampuan Crimea untuk mengendalikan keamanan, membangunan pelabuhan dan transportasi didukung oleh Soviet, dan bukan oleh Ukraina.
Namun alasan historis dan kultural itu masih sulit diterima oleh Barat.
Dengan runtuhnya Soviet pada 1991 dan Ukraina menjadi negara yang independen, Crimea menjadi bagian kedaulatan Crimea dengan status sebagai “daerah otonomi khusus.”Ini menandakan bahwa Ukraina memandang unik asal usul Crimea dalam kedaulatannya.
Pada tahun 1994, pemerintah Crimea menyatakan niat untuk berdiri sebagai negara merdeka. Usaha ini segera dicegah oleh Ukraina dan bahkan wilayah ini diberikan kekuasaan khusus untuk membentuk Undang-Undang tersendiri.
Gerakan Euromadian—yang menjadi pemicu krisis politik di Ukraina sejak November 2013—ditentang oleh Crimea dan menyulut keinginan untuk memisahkan diri. Gerakan itu dipandang akan membawa bencana ekonomi karena menjerumuskan Ukraina ke dalam perselisihan politik dengan Rusia.
Ilya Somin, dosen Sekolah Hukum George Mason, sebagaimana dikutip di Washington Post Senin pekan lalu, mengatakan bahwa tidak ada kondisi etik sama sekali untuk menyokong pemisahan Crimea. Somin heran mengapa Rusia menentang kemerdekaan Kosovo dan sekarang justru mendorong kemerdekaan Crimea. Lagipula, tidak seperti Kosovo, tidak ada bahaya keamanan fisik yang menimpa Crimea.
Tetapi pendapat tersebut melupakan banyak hal factual. Pertama, Crimea merasa terancam dengan Ukraina yang berkiblat ke Barat, terutama dari aspek ekonomi. Mereka tidak perlu mengalami pembersihan etnis terlebih dahulu seperti Kosovo untuk menjadi negara merdeka.
Kedua, situasi Crimea tidak dapat dibayangkan seperti ketika Soviet masih ada. Sementara Kosovo dulu merupakan bagian kedaulatan Serbia. Bagi Rusia, yang menyokong kedaulatan territorial suatu negara, tentu berbeda dalam sikap menerima keinginan suatu negara untuk bergabung dalam kekuasaannya.
Ketiga, sikap Rusia hanyalah menghormati keinginan Crimea yang tercermin dalam referendum 16 Maret yang lalu. Jika Kosovo diizinkan menjadi negara merdeka, tentu bagi Crimea pun tidak ada halangan.
Apa yang baik bagi Kosovo tentu berlaku pula bagi Crimea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H