Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Standar Perlakuan untuk Bekas Presiden dan Bekas Wapres (1)

3 Mei 2013   07:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:12 3175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman seru lainnya yang saya ingat adalah ketika dianggap “ngerjain” para pengawal Eyang (Letnan Jenderal Purnawirawan Sudharmono, S.H.) waktu masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Suatu kali kami sekeluarga hendak mengajak Eyang makan malam di sebuah restoran. Karena bersifat dadakan, yang kalang kabut justru petugas pengawal kepresidenan. Bahkan, ketika Eyang berinisiatif menyetir mobil sendiri bersama saya, pasukan pengawal malah kelabakan. Ajudan Eyang akhirnya berpesan kepada saya, “Mas, jangan terlalu sering mengajak Eyang jalan-jalan sendiri, nanti kalau ada apa-apa kita yang ditembak terlebih dahulu.”

(Fajar Aryo Wisnutomo Rachmadi, cucu Wakil Presiden Soedharmono, 1988-1993).

Malam hari menjelang penutupan Sidang Umum MPR, masih dalam kapasitas sebagai seorang Wakil Presiden, Bapak didampingi Ibu beserta keluarga berangkat dari kediaman di Jalan Senopati. Karena akan menghadiri suatu acara resmi kenegaraan, maka tata cara keprotokoleran sewaktu berangkat dilakukan sebagaimana biasa; Bapak bersama Ibu berada dalam kendaraan dinas Wakil Presiden dengan pengawalan dan kendaraan pengiring yang lengkap….Malam itu, Bapak yang akan berangkat dari kediaman di Jalan Senopati sebagai seorang Wakil Presiden lengkap dengan kendaraan, pengawalan, dan protokoler kepresidenan dengan ketabahan yang luar biasa kembali ke kediaman sebagai seorang warganegara biasa dengan kendaraan biasa tanpa protokoler dan aturan sebagaimana pada saat Bapak berangkat.

(Tantyo Aji Pramudyo Sudharmono, putra Wakil Presiden Soedharmono, 1988-1993).

Dua tulisan di atas merupakan tulisan yang termuat dalam buku “Kesan dan Kenangan dari Teman: 70 Tahun H. Soedharmono, S.H. sosok ini adalah Menteri Sekretaris Negara (1968-1983) dan Wakil Presiden (1988-1993). Yang membuat saya tertarik adalah ternyata seorang Wakil Presiden, di samping juga Presiden, memperoleh pengamanan yang ketat selama memangku jabatan tersebut. Namun, sesudah tidak menjabat, seolah-olah semua fasilitas pengamanan dan protokoler tersebut dicabut begitu saja.

Selama 32 tahun sebagai Presiden, sulit untuk menangkap kesan dari isteri atau anak-anak Soeharto mengenai perlakuan pengamanan atau perlakuan protokoler terhadap mereka sebagai First Lady dan First Kid. Setahu saya Ibu Tien Soeharto memang pernah meluncurkan biografi, tetapi tidak menyinggung hal itu, apalagi sampai terungkap ke media massa/publik sampai wafatnya (1996). Demikian juga 6 orang putra putri Soeharto tidak pernah meluncurkan publikasi semacam itu. Di dalam buku Soeharto: Untold Story, yang disinggung adalah pengalaman para ajudan Presiden/ibu negara.

Demikian juga sulit memperoleh informasi kesan mengenai pengamanan/perlakuan protokoler diantara bekas Wakil Presiden seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, dan Try Sutrisno. Publikasi mengenai Sri Sultan terutama mengenai perannya sebagai raja yang legendaries dan demokratis Kesultanan Yogyakarta yang berperan besar dalam pertumbuhan negara di awal-awal berdirinya republik. Sebagai raja dengan beberapa isteri, tidak pernah ada publikasi resmi mengenai kegiatan isteri Wakil Presiden. Konon pula Sri Sultan termasuk jarang didampingi isteri dalam kegiatan resmi kenegaraan. Adam Malik dan Umar Wirahadikusumah meluncurkan biografi tetapi lebih menekankan peran mereka dalam semasa perjuangan. Tak banyak human interest yang mengemuka. Try Sutrisno setahu saya belum pernah menerbitkan buku riwayat hidup.

B.J. Habibie yang pernah menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi (1978-1998) dan Wakil Presiden 90 hari (Maret 1998-Mei 1998) dan kemudian Presiden (Mei 1998-Oktober 1999) memiliki beberapa publikasi menyangkut profil pribadinya, termasuk yang kemudian di filmkan “Habibie dan Ainun” tetapi tak ada bahasan mengenai hal itu. Beberapa tulisan di internet yang belakangan muncul memang memunculkan sikap Habibie sehubungan dengan pengamanan dan perlakuan protokoler tersebut. Habibie sejak menjadi menteri, wakil presiden, dan presiden, tidak pernah mau tinggal di kediaman resmi pejabat, tetap memilih di Patra Kuningan, kediaman pribadinya sejak 1974.

Abdurrahman Wahid dan Sinta Nuriyah beserta putri-putrinya, dalam suatu kesan jenaka dan disampaikan lisan di berbagai kesempatan, memang pernah menceritakan pengamanan dan perlakuan protokoler tersebut, tetapi tidak lengkap. Hanya saja saat meninggalnya Abdurrahman Wahid sempat keluar kisah dari Yenny Wahid, putrinya, betapa saat harus menjalani pemeriksaan kesehatan, semua ditanggung sendiri. Demikian juga Megawati dan Taufik Kiemas, belum secara lengkap menyampaikan hal tersebut. Juga Hamzah Haz dan Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang dikenal rileks dan tak begitu memperhatikan masalah keprotokolan.

Para pendahulu mereka, kecuali hal-hal yang bersifat pribadi, tidak memaparkan pandangan mengenai hal itu. Presiden Soekarno meninggal dunia dalam kondisi sakit dan konon mengalami “tahanan rumah” dari pemerintah Orde Baru, dan dipaksa secepat-cepatnya meninggalkan Istana, begitu MPRS mencabut mandat kepresidenannya. Moh. Hatta, bekas Wakil Presiden yang mengundurkan diri tahun 1956, pernah mengeluh dirinya tidak bisa membayar pajak bumi dan bangunan ke Pemerintah DKI Jakarta, sampai Gubernur Ali Sadikin saat itu, turun tangan.

Pernah ditetapkan UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden dan Bekas Presiden dan Bekas Wakil Presiden (berlaku sejak 18 Desember 1978). Sesudah tidak menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka berhak atas uang pensiun sebesar 100% gaji pokok terakhir dan terus berlangsung hingga 6 bulan setelah meninggal dunia. Mereka berhak atas tunjangan rumah tangga (pembayaran air, listrik, dan telepon) serta tunjangan kesehatan untuk mereka dan isteri/suami. Mereka juga berhak mendapatkan rumah lengkap dengan fasilitasnya, sebuah kendaraan beserta pengemudi, serta memiliki staf yang berstatus sebagai pegawai negeri. Untuk janda/duda bekas Presiden dan Wakil Presiden berhak atas pensiun sebesar 50% gaji pokok terakhir, rumah dengan kelengkapannya, dan kendaraan milik negara serta pengemudi. Pensiun kepada janda/duda dilangsungkan sampai mereka meninggal dunia atau menikah lagi. Pensiun selanjutnya diberikan kepada anak bekas Presiden dan bekas Wakil Presiden jika belum 25 tahun, belum menikah, dan belum mempunyai pekerjaan tetap. Jika Presiden, Wakil Presiden, bekas Presiden, dan bekas Wakil Presiden meninggal dunia, dimakamkan secara kenegaraan oleh pemerintah.

Ketentuan tersebut tidak membicarakan mengenai standar pengamanan. Saat Soeharto berhenti tanggal 21 Mei 1998, Jenderal Wiranto selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menegaskan akan memberikan pengamanan kepada setiap mantan mandataris MPR, termasuk bekas Presiden Soeharto dan keluarganya. Bagaimanakah hal itu dilaksanakan dan apakah berlaku untuk mantan pejabat selanjutnya, tidak dijelaskan. Kesaksian putra bekas Wakil Presiden Soedharmono di atas menunjukkan begitu jabatan lepas, segala standar pengamanan dan protokoler juga dilepas. UU No. 7 Tahun 1978 di atas juga tidak mengatur mengenai hal tersebut.

Untuk kedudukan keuangan/administratif dikoordinasikan Sekretariat Negara, sedangkan pengamanan dilakukan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di bawah kendali Panglima TNI. Ketentuan UU No. 7 Tahun 1978 juga tidak mengatur, dalam hal bekas Presiden atau bekas Wakil Presiden meninggal dunia, apakah perlu instruksi khusus untuk mengibarkan bendera setengah tiang? Apakah bekas Presiden dan bekas Wakil Presiden tetap boleh menjalankan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan publik, apakah hal itu dikategorikan informal atau formal? Bolehkah mereka kembali menduduki jabatan di lingkungan eksekutif, legislatif, atau yudisial? Bolehkah mereka menangguk keuntungan misalnya dari hasil penjualan memoar atau biografi selepas menjabat? Hal-hal ini juga tidak diatur dalam undang-undang.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun