Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sang Pemegang Palu Keadilan

1 Agustus 2013   18:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penunjukkan Patrialis Akbar (pernah menjadi politisi Partai Amanat Nasional, anggota DPR 1999-2009, dan Menteri Hukum dan HAM, 2009-2011) oleh Presiden Yudhoyono untuk menjadi calon hakim konstitusi menuai kritik. Patrialis diajukan oleh pemerintah untuk menggantikan Achmad Sodiki (Wakil Ketua MK) yang akan memasuki purna tugas 16 Agustus 2013 yang akan datang. Di samping proses dan tata cara yang dianggap tidak transparan dan tidak partisipatif, ada kecemasan sementara kalangan bahwa penunjukkan politisi menjadi pemegang palu keadilan di MK akan sarat kepentingan dan menjadikan MK tidak independen.

Salah satu diantara persoalan yang muncul adalah penafsiran ketentuan Pasal 19 yang mengatur bahwa pencalonan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif. Kekuasaan menjalankan peradilan yang dimiliki oleh MK sebagai lembaga  dijalankan oleh pejabat hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 orang oleh MA, 3 orang oleh DPR, dan 3 orang oleh Presiden. Dalam mengajukan calon hakim konstitusi, MA, DPR, dan Presiden harus memperhatikan ketentuan Pasal 19 UU No. 24/2003 jo UU No. 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa calon hakim konstitusi harus dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik agar masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim konstitusi yang bersangkutan. Tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel, yang dapat diatur oleh masing-masing lembaga.

Meskipun demikian, undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut dengan cara bagaimanakah tiap-tiap lembaga pengusul calon hakim konstitusi melaksanakan kewenangannya tersebut dan terutama untuk memenuhi persyaratan transparan dan partisipatif tadi. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari DPR, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, MK berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, DPR, dan MA.

Dengan adanya keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, apalagi terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi imparsial MK ini mutlak diperlukan, karena itu rekruitmen hakim konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus. Bahkan, dalam proses pembinaan perilaku etik para hakim konstitusi, ketiga cabang kekuasaan itu, yaitu Presiden, DPR, dan MA tetap dilibatkan, yaitu apabila ada dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi, maka komposisi 5 orang anggota Majelis Kehormatan Hakim diisi pula oleh anggota majelis yang berasal dari usulan Presiden, DPR, dan MA masing-masing 1 orang. Dengan demikian, pengawasan etik hakim konstitusi dilakukan secara semi ekstrernal yang menjamin efektifitas, independensi, dan keterpercayaan.

Untuk pertama kali pada tahun 2003, Presiden Megawati melalui Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengumumkan HAS Natabaya (guru besar Universitas Sriwijaya, mantan Kepala BPHN Kementerian Kehakiman dan HAM), Abdul Mukthie Fajar (Guru Besar Universitas Brawijaya, Ketua KPU Jawa Timur), dan  Haryono (dosen Universitas Airlangga, anggota Fraksi Utusan Daerah MPR) menjadi hakim konstitusi. Pada tahun tersebut, Presiden Yudhoyono membentuk sebuah komite seleksi untuk melakukan pendaftaran dan pengujian calon hakim konstitusi. Komite tersebut terdiri atas Franz-Magnis Suseno, Laica Marzuki, dan Nono Anwar Makarim. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden. Dari sini dihasilkan nama Abdul Mukthie Fajar, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati Soeprapto. Dalam perjalanan kemudian, Mukthie Fajar pensiun dan tiba-tiba pemerintah mengumumkan penunjukkan Hamdan Zoelva (politisi PBB, anggota DPR 1999-2004) menjadi hakim konstitusi yang diajukan oleh Presiden.

Kriteria dan prosedur untuk calon hakim Konstitusi dari MA juga tidak pernah dipaparkan di muka publik. Ketua MA biasanya langsung menyodorkan 3 orang hakim untuk ditetapkan Presiden menjadi hakim konstitusi. Untuk periode pertama (2003-2008), Ketua MA Bagir Manan mengajukan nama Sudarsono, Maruarar Siahaan, dan  Laica Marzuki menjadi hakim konstitusi. Sudarsono dan Marurar adalah hakim karier dan terakhir menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi, sementara Laica adalah hakim agung dari jalur non karier. Nampaknya pola telah menjadi Ketua Pengadilan Tinggi diteruskan oleh Ketua MA Bagir Manan untuk menunjuk calon hakim konstitusi dari MA, seperti Arsyad Sanusi (Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan) dan M. Alim (Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara). Ketika Arsyad Sanusi mengundurkan diri (2011), Ketua MA Harifin M. Tumpa menunjuk Ahmad Fadhil Sumargo (Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah, pernah menjadi Panitera MK).

Pada tahun 2008, DPR mengumumkan akan mengisi jabatan hakim konstitusi. Untuk itu, sebuah iklan yang ditanda tangani oleh Ketua Komisi III, Trimoedya Panjaitan, ditayangkan di media massa nasional yang memuat syarat-syarat calon hakim konstitusi menurut Pasal 15 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dari seleksi ini terpilih Moh. Mahfud M.D. (politisi PKB, Menteri Pertahanan, 2000-2001, Menteri Kehakiman, 2001, anggota DPR, 2004-2008, kemudian menjadi Ketua 2008-2013), Jilmy Asshiddiqie (yang kemudian mengundurkan diri), Akil Mochtar (politisi Golkar, anggota DPR 1999-2008) serta Haryono (tahun 2003-2008 menjabat hakim konstitusi yang dinominasikan oleh pemerintah).

Menengok kewenangan Mahkamah Konstitusi, ia erat kaitannya dengan politik karena dapat membatalkan UU yang dihasilkan oleh Presiden dan DPR. Persyaratan untuk diangkat menjadi hakim konstitusi diatur dalam Pasal 15-16 UU Mahkamah Konstitusi, yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, WNI, sarjana hukum, berusia minimal 40 tahun, tidak pernah dijatuhi pidana penjara, tidak sedang dinyatakan pailit. Kemudian mempunyai pengalaman di bidang hukum 10 tahun. Syarat negarawan merupakan satu-satunya syarat jabatan publik yang tidak ada di lembaga negara yang lain. Hal ini menunjukkan pentingnya tugas dan tanggung jawab hakim konstitusi yang menjadi penjaga UUD 1945.

Dengan kewenangan menguji UU terhadap UUD, maka di negara manapun, MK atau kadang-kadang fungsi ini dilekatkan di Mahkamah Agung akan menjadi pusat perhatian cabang-cabang kekuasaan yang lain. Presiden dan DPR mempunyai peluang untuk membentuk UU mengenai pengadilan konstitusi yang bisa jadi akan mengendalikan lembaga ini.

Dalam artikelnya ketika membahas Mahkamah Agung Jepang, Jun-inchi Satoh menulis, “... the  Court  has  rarely exerted  this  power  to  strike  down  government  legislation  or  acts.  This  reluctance  is  in part due  to  the very short  tenures of  the  judges on  the Court.”  Akibat dari hal tersebut, maka, “Since  the  creation  of  the Court  under  Japan’s  1946 Constitution  (the “Constitution”),  there  have  in  fact  been  sixteen different Chief Justices.” Dari pendapat itu, menunjukkan bahwa ada keterkaitan jarangnya judicial activism untuk melakukan pengujian konstitusional (constitutional review) atas Undang-Undang dengan masa jabatan yang relatif pendek pada hakim di Mahkamah Agung Jepang.

Di Israel, komposisi Mahkamah Agung mencerminkan watak yang menunjukkan adanya persaingan ideologis “between the  liberal  tradition,  both Central-European  and Anglo-American,  and  a  very  different, East-European  political  style, which  the judges observed in other governmental institutions, a style which had distinct antiliberal elements.” Hakim Agung diseleksi oleh suatu komisi yang susunannya meliputi 3 Hakim Agung, 2 wakil organisasi advokad, 2 anggota kabinet/menteri, dan 2 anggota parlemen (Knesset). Perempuan Hakim Agung untuk pertama kalinya diangkat pada 1977 dan jumlahnya terus bertambah, dan dewasa ini mencapai jumlah separuh dari susunan majelis, termasuk Ketua Mahkamah Agung, Dorit Beinish. Keanggotaan 3 Hakim Agung yang dominan memberikan warna ideologis pada Mahkamah Agung. Mereka cenderung mempunyai karakter nilai liberal dibandingkan pemerintah maupun parlemen. Pada praktiknya, untuk isu publik yang dominan seperti perdamaian, keamanan, dan hak asasi manusia, Mahkamah Agung berwatak kiri dibandingkan cabang kekuasaan lain. Untuk isu moralitas dan hubungan negara dan agama, Mahkamah Agung lebih kanan dibandingkan cabang kekuasaan lain. Di bawah pemerintahan Partai Buruh (yang berhalauan sosialis dan berkuasa hampir 30 tahun sampai tahun 1977), Mahkamah Agung lebih berwatak liberal, tetapi dewasa ini, karena sifat pemerintahannya yang liberal, “the Court  is slowly shifting  left to  represent  a more  social  justice  orientated  stanc.” Pada kondisi ideologis itu, maka putusan Mahkamah Agung  “not only in terms of ethnic, gender and religion, but also in terms of values and  ideologies,  is a separate cultural system and  thus membership of  the Court  is exclusive  to  those who subscribe  themselves  to  liberal values. The commitment to this value system, according to Mautner, ought to be a precondition for appointment.”

Nominasi hakim agung di Amerika juga dikaitkan dengan kepentingan calon presiden, terutama terkait dengan upaya menggalang pemilih dengan karakteristik tertentu dalam pemilihan umum. Sebagai contoh adalah nominasi Sandra Day O’Connor oleh Presiden Ronald Reagen yang dimaksudkan untuk lebih menarik pemilih perempuan dalam Pemilihan Presiden tahun 1981.  Satrategi yang sama sebelumnya juga dilakukan oleh oleh Richard Nixon dengan mencalonkan Clement Hysnworth (1969), G. Harold Powell (1970), dan Lewis Powell (1971) sebagai hakim agung dengan maksud sebagai strategi untuk lebih menarik pemilih dari wilayah selatan Amerika dalam pemilihan umum.  Sementara itu, Presiden Ronald Reagen termasuk Presiden Amerika Serikat yang berupaya memberikan pengaruh terhadap proses peradilan selama periode pemerintahannya, termasuk memilih hakim-hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung sejalan dengan pemikiran politiknya. Pemilihan William Rehnquist sebagai Ketua Mahkamah Agung mengubah peta perimbangan kekuatan politik diantara eksekutif dengan yudikatif dan legislatif. Penempatan hakim-hakim agung melalui nominasi Reagen berhasil menempatkan  Supreme Court di bawah bayang-bayang politik pemerintahan Reagen, di mana secara konsisten lahir putusan-putusan pengadilan yang mendukung pembuatan undang-undang baru tentang aborsi pada 1988. Padahal 15 (lima belas) tahun sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang memperkuat hak perempuan untuk menentukan soal aborsi tersebut. Diantara nominasi hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung dengan pertimbangan politik dari Presiden, sejarah Amerika Serikat mencatat 3 (tiga) nominasi Ketua Mahkamah Agung sangat penting bagi sejarah perjalanan kekuasaan kehakiman dan berpengaruh terhadap pentas politik negara yaitu pencalonan John Marshall (1801), Earl Warren (1953), dan Abe Fortas (1968). Walaupun demikian, ada Presiden yang selama masa jabatannya tidak dapat menggunakan pandangan politiknya untuk mempengaruhi hakim agung, seperti Presiden Jimmy Carter (1977-1981).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun