Jika pemerintahan negara bagian di India bubar atau setelah pemilu tidak berhasil membentuk pemerintahan lokal, maka atas kuasa Pasal 356 Konstitusi, pemerintah pusat bisa mengambilalih kekuasaan negara bagian. Demikian juga jika pemerintahan negara bagian mengundurkan diri dan gagal membentuk pemerintahan baru, maka pemerintah pusat yang akan mengambilalih tanpa pembatasan jangka waktu.
Konstitusi India mengikuti model parlementer Inggris yang menekankan kekuasaan pemerintahan pada Perdana Menteri. Tentu saja terdapat perbedaan struktur politik diantara kedua negara. Perbedaan tersebut ialah di India (i) Konstitusi memiliki kedudukan tertinggi dibandingkan parlemen; (ii) bentuk negara Republik; dan (iii) ada jabatan Presiden yang dipilih. Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan dipilih oleh badan pemilih yang ditetapkan oleh Majelis Tinggi dan Majelis Rendah dalam struktur parlemen. Presiden bersumpah untuk setia dan mempertahankan Konstitusi. Presiden menetapkan Perdana Menteri setelah memperhatikan hasil pemilihan umum dan/atau sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Karena jabatan Perdana Menteri tergantung kepada komposisi Majelis Rendah, maka sistem rekrutmennya menjadi penting. Sejak tahun 1951 hingga tahun 1984, Presiden tidak pernah mengalami persoalan karena selalu bisa menunjuk Perdana Menteri dari Ketua Partai yang menguasai mayoritas kursi di Majelis Rendah.
Bahkan, begitu Perdana Menteri dilantik dan menjalankan jabatan, maka Presiden wajib memperhatikan saran-sarannya dan juga suara cabinet. Dengan demikian, praktis Konstitusi India menempatkan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Walaupun demikian, konstitusi masih juga melekatkan kekuasaan pemerintahan dalam jabatan Presiden.
Sistem di India bukanlah sistem federasi dalam makna yang sesungguhnya, mengingat Konstitusi menempatkan kekuasaan besar pada pemerintahan negara bagian. Terdapat daftar pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan negara bagian dalam konstitusi. Tiap-tiap negara bagian menjalankan pemerintahan demokratis yang ditandai dengan adanya parlemen negara bagian. Ketua Partai yang menguasai parlemen negara bagian ditetapkan menjadi Menteri Besar (Chief Minister). Menteri Besar dilantik oleh Gubernur, yang mana Gubernur ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Dengan penguasaan mayoritas kekuasaan oleh Partai Konggres, antara tahun 1951 hingga 1977 dan antara tahun 1980 hingga 1989, menghasilkan stabilitas politik yang memperkuat kekuasaan pemerintah pusat. Tetapi dalam periode yang sama tercatat terjadinya kekacauan politik di negara bagian. Sementara demokrasi parlementer menjamin kekuasaan Perdana Menteri di tingkat pusat, akan tetapi di tingkat negara bagian justru menumbangkan banyak pemerintahan. Pemerintah pusat bahkan menjadi penekan kekuasaan negara bagian. Pemerintah pusat bisa membubarkan pemerintahan di tingkat negara bagian. Ini menjadi ketentuan konstitusi yang begitu kontroversial walaupun sering dilaksanakan. Wilayah seperti Punjab, Jammu, Khasmir, dan Assam, mengalami pengambilalihan pemerintahan oleh pusat dalam kurun waktu yang lama akibat ketentuan tersebut.
Konstitusi India memiliki ketentuan Pasal 356 yang menjamin sirkulasi pemerintahan, akan tetapi gagal diterapkan di tingkat negara bagian. Kegagalan muncul jika tidak ada satupun partai politik yang memenangkan mayoritis di pemilu lokal. Atau bisa terjadi saat pemerintahan negara bagian mengundurkan diri dan partai politik gagal membentuk pemerintahan pengganti. Atau bisa juga saat pemerintah melanggar konstitusi mengenai ketentuan masa jabatan. Sudah tentu ketentuan konstitusi mengenai pengambilalihan kekuasaan negara bagian tersebut di atas bukanlah merupakan ketentuan yang diterapkan dalam kondisi normal, akan tetapi apabila terjadi kegagalan pembentukan pemerintahan saja.
Sesungguhnya, apabila pemilu lokal tidak mampu menghasilkan pemerintahan dengan sistem mayoritas,.maka partai minoritas dapat membentuk pemerintahan dengan dukungan kelompok atau partai di luar Parlemen. Hal ini pernah terjadi di negara bagian Travancore-Chocin (1952), Benggala Barat (1967), Punjab dan Bihar (1968), dan Kerala (1969 dan 1970). Bahkan pernah pemerintahan minoritas di negara bagian Podichhery (1974) dibentuk tanpa dukungan kelompok di luar parlemen.
Mengingat pentingnya partai politik dalam sistem demokrasi, maka merekalah yang—menurut beberapa kritikus di India—mestinya diberi kesempatan terlebih dahulu untuk membentuk pemerintahan. Hal ini seperti yang terjadi di Orissa (1959) saat Harekhrusna Mahtab mengundurkan diri dan di Punjab (1969) saat L.S. Gill mengundurkan diri.  Situasi serupa dijumpai di negara bagian Karnataka dan Guharat saat Virendra Patil dan Hitendra Dasai mengundurkan diri (1971). Juga di negara bagian Podicchery (1974) seperti sudah dikemukakan di atas.
Namun dalam praktiknya, mekanisme demokrasi itu tidak begitu diperhatikan. Tiap-tiap Gubernur di negara bagian mengambil tindakan yang berbeda-beda. Kecenderungan yang sering terjadi adalah Gubernur merekomendasikan agar pemerintah pusat mengambilalih pemerintahan dan membubarkan atau menunda bekerjanya Parlemen saat pembentukan pemerintahan gagal tercapai. Di sejumlah negara bagian, saat Partai Konggres menolak membentuk pemerintahan dalam situasi krisis tersebut, maka situasi mengarah kepada kegagalan mekanisme konstitusional dan cenderung menggunakan Pasal 356 Konstitusi yang memberi peluang pusat untuk mengambialih kekuasaan.
Kadang-kadang mekanisme pengambilihan kekuasaan negara bagian oleh pemerintah pusat tetap dilakukan sekalipun tidak ada dukungan mayoritas untuk melakukannya. Hal ini misalnya pernah terjadi di Punjab (1951) saat Gophicand Bargav mengundurkan diri tetapi ditolak oleh mayoritas partai. Kasus di Udra Padresh (1973 dan1975) menunjukkan, sekalipun Kamalapati Thripaty dan H.N. Bahuguna mengundurkan diri akan tetapi masih memperoleh dukungan mayoritas. Kejadian di negara bagian Orrissa (1976) menunjukkan situasi yang sama ketika Nandini Saptapathy mengundurkan diri. Tidak ada krisis politik yang mengancam konstitusi. Semua berhubungan dengan krisis partai politik dan masalah internal.
Gubernur akan meminta Menteri Besar untuk memperoleh dukungan dari oposisi saat mengundurkan diri dan kemudian membentuk pemerintahan pengganti. Jika kemungkinan ini tidak terjadi, maka Dekrit Presiden akan berlaku untuk membubarkan Parlemen lokal.
Keputusan pemerintah pusat di India merupakan keputusan partai politik yang memegang kekuasaan dan faktanya keputusan kepala pemerintahan atau perdana menteri bisa berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Pada tahun 1951 hingga 1989, India dikendalikan oleh Partai Konggres selama hampir 36 tahun dan oposisi hanya memerintah tak kurang dari 3 tahun saja. Selama kurun waktu itu, Partai Konggres menyokong 4 Perdana Menteri yaitu Nehru, Shastri, Indira, dan Rajiv. Dari kalangan oposisi adalah Morarjee dan Charan Singh. Faktanya, keenam Perdana Menteri ini melanjutkan tradisi Partai Konggres. Pandit Jawaharlal Nehru dan Indira Gandhi mendominasi selama 29 tahun dan 7 tahun sisanya oleh Shastri dan Rajiv. Â Selama itu, Ketentuan Pasal 356 Konstitusi telah digunakan selama 114 kali sejak pertama kali diberlakukan. Pertama kali diterapkan untuk negara bagian Punjab dan selanjutnya hampir 2 kali dalam setiap tahun dalam masa itu. Pada suatu waktu, ketentuan konstitu itu digunakan 12 kali dalam setahun.
Perdana Menteri Nehru menggunakan 5 kali sepanjang kekuasaannya, kemudian Shastri 2 kali, Rajiv 6 kali, Charan Singh 17 kali, dan Indira memegang rekor dengan menggunakan 30 kali dalam masa jabatan pertama dan 16 kali dalam masa jabatan kedua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI