Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu 2014: Referendum Terhadap Capres

10 April 2014   00:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Apakah Saudara setuju dengan calon Presiden yang kami ajukan?” Demikian kira-kira situasi kehendak setiap partai politik peserta pemilu 2014. Keterpisahan pemilu legislatif dan pemilu Presiden, menyebabkan emosional pemilih menjadi daya penentu untuk memberikan suara. Situasi ini berbeda dengan pemilu 1999, 2004, dan 2009.

Pada pemilu 1999, emosi pemilih—dengan sistem yang hanya memilih wakil rakyat—merupakan mosi tidak percaya terhadap rezim Orde Baru. Hasilnya telak: rakyat menghendaki perubahan pemerintahan. Sebanyak 30% suara DPR digenggam oleh PDI-Perjuangan, symbol oposisi yang dikemudikan oleh Megawati Soekarnoputri. Sayangnya, sistem pemilihan Presiden ketika itu tunduk pada ketentuan UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menghendaki Presiden dipilih oleh MPR, jadi pemilihan tidak langsung. Maka, sebagian karena manuver politik Amien Rais dan partai-partai Islam dan disokong Golkar, Megawati gagal menjadi Presiden. Kesimpulan saat itu: pemilu legislatif tidak senafas dan sedetak jantung untuk preferensi pilihan sosok Presiden.

Pemilu 2004, untuk pertama kali memperkenalkan pilihan langsung Presiden, tetapi terpisah dari pemilu legislatif. Pencitraan Yudhoyono berperan besar mengaduk-aduk emosi pemilih sehingga keberhasilan pemerintahan Megawati di ujung pemerintahan tak banyak disimak. Sekalipun Ketua Umum yang memegang jabatan Presiden, Megawati tidak mampu mendongkrak perolehan suara PDI-P.

Dalam pemilu 2009, kecenderungan referendum telah jelas: “Apakah Anda ingin pemerintahan ini—yang telah menurunkan harga BBM dan memerangi korupsi—terus berlanjut? Ditambah pencitraan media dan sosok Yudhoyono, secara mengejutkan Demokrat berhasil meraih posisi puncak perolehan suara, hampir 20%. Ini prestasi luar biasa mengingat keberadaannya sebagai partai politik yang belum genap 10 tahun.

Nah, dalam Pemilu 2014, jika hasil hitung cepat oleh lembaga penyelenggara survey tidak berubah, maka nampaknya referendum itu telah berubah. Seakan-akan partai menguji elektabilitas calon Presiden yang diusung. Maka hasil dapat terpetakan dan selaras dengan berbagai jajak pendapat yang hasilnya terpampang di media: PDI-P menduduki perolehan pertama, disusul Golkar dan Gerindra.

Golkar barangkali ada intermediasi faktor: kuatnya infrastruktur partai dan tak hanya ketokohan Aburizal Bakri—yang di sana-sini kerap disorot negatif. Bukan tidak mungkin, Ical dan Golkar justru akan menjadi kingmaker yang sangat menentukan.

Referendum dalam pemilu legislatif kemudian terfokus pada 2 kekuatan politik: PDI-P dan Gerindra. Kedua partai ini telah mengusung calon Presiden yang kemudian mempengaruhi dinamika politik paling tidak 3 bulan terakhir. Barangkali jika pemilu serentak digelar dan presidential threshold diabaikan, maka siapa pemenangnya dapat ditebak.

Demikian pula terhadap partai politik lain. Andai pemilu serentak, barangkali perolehan suara tidak jauh beranjak dari perolehan hasil legislatif versi hitung cepat kali ini.

Belajar dari pengalaman 2004 dan 2009, amat sulit menggeser preferensi pemilih terhadap calon Presiden yang telah disukai. Di samping tidak melembaga, pemeblahan kelas dalam masyarakat di negara ini tidak terlalu menjadi persoalan penentu sebagai perilaku pemilih.

Perbedaan partai atau kecenderungan calon dalam hubungannya dengan kepentingan kelas sosial tertentu tidak mesti berdasarkan visi dan misi mereka, dan juga tidak mesti dilihat dari janji mereka dalam kampanye.

Pembelahan partai politik di Indonesia berwatak monolitik. Dalam pemilu 1999, tak ada satu pun partai politik yang mengusung kelas sosial tertentu, misalnya buruh, memperoleh kepercayaan suara yang meyakinkan. Sampai sekarang untuk urusan ekonomi, saya yakin—sekalipun bahasanya berbeda-beda, semua partai menekankan platform ekonomi yang mengadanikan pemerintah mampu berperan besar untuk membuat program kesejahteraan sosial, perlindungan petani dari pasar bebeas lewat proteksonisme. Dalam praktiknya, pemerintah dihadapkan pada berbagai kesulitan besar untuk mewujudkan janji-janji mereka sebelum berkuasa.

Bagaimana dengan keterkaitan dengan organisasi tertentu? Sepanjang pengetahuan saya, hal itu belum diteliti secara sistemik. Selama ini NU memang dipercaya sebagai organisasi sosial yang terkait dengan partai NU atau dengan PKB. Sementara itu, Muhammadiyah dipercaya terkait dengan Masyumi dan kemudian dengan PAN.

Dalam suatu masyarakat, dukungan terhadap partai atau calon tertentu mungkin juga terkait dengan pola-pola hubungan patron klien antara pemilih dengan calon yang terkait dengan partai tertentu. Orang mendukung partai karena merasa tergantung pada patronnya yang terkait dengan partai atau dengan calon tertentu.

Menurut, saya suasana referendum dalam Pemilu 2014 ini ditentukan oleh penguasaan informasi politik. Informasi politik adalah informasi yang dimiliki tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik atau yang berkaitan dengan kepentingan umum. Dengan beragamnya media informasi—baik media  konvensional maupun online—seperti sekarang, membuat orang mempunyai informasi lebih banyak tentang masalah publik, cenderung lebih mampu menentukan sikap dan melakukan tindakan politik. Oleh karena itu, informasi politik dipercaya dapat membantu seorang warga ikut serta dalam pemilu.

Itulah sebabnya, setahun belakangan isu “elektabilitas” partai dianggap menjadi penting. Orang yang mengetahui informasi akan berpotensi untuk menentukan preferensi sendiri pilihan-pilihan politiknya, yang mungkin lepas dari basis keberpihakannya terhadap partai politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun