Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karsten, Perencana Kota Indonesia

16 Juli 2013   20:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:27 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Herman Thomas Karsten (1884-1945) tidak diragukan lagi merupakan tokoh besar dalam sejarah arsitektur dan perencanaan kota di Indonesia. Pada 1915-1941, dia terlibat dalam perencanaan 12 kota diantara 19 kota di Jawa (kecuali Surabaya), 3 dari 9 kota di Sumatera, dan Banjarmasin di Kalimantan.Pentingnya Karsten  dalam hal kontribusinya terhadap praktek perencanaan kota di masa kolonial dan prinsip-prinsip arsitektur di Indonesia.

Karsten lahir di Amsterdam pada 22 April 1884. Ayahnya adalah seorang Wakil Rektor di samping dikenal sebagai profesor filsafat. Salah satu saudari Karsten merupakan perempuan pertama Belanda yang menekuni ilmu kimia. Sejak kecil dari lingkungan rumahnya Karsten tumbuh menjadi pribadi yang liberal dan progresif. Karsten menamatkan studinya di Sekolah Tinggi Teknik Delft (sekarang dikenal sebagai Delft University of Tecnology). Karsten menekuni ilmu teknik bangunan dan sebenarnya tidak begitu menonjol dalam hal kapasitas akademik, tetapi kemampuannya untuk meraih diploma itu sendiri sudah menjadi hal yang membanggakan. Bagaimanapun, hingga tahun 1920, Sekolah Tinggi Teknik Delft hanya meluluskan 3-10 insinyur untuk setiap tahunnya. Amsterdam, tempat tinggal Karsten, di awal permulaan 1920 merupakan kota yang mempunyai masalah sosial dan ekonomi. Kota ini mencuat dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan segregasi sosial yang tajam, di mana antara lain kalangan Yahudi merupakan pihak yang termarjinalkan. Saat menjadi mahasiswa, dalam 1908-1911, Karsten terlibat intim dengan proyek perencanaan permukiman kota di Amsterdam. Karsten merupakan anggota Persatuan Insinyur Sosialis.

Di tengah berkecemaknya Perang Dunia I, Karsten mengikuti saudarinya untuk pergi ke Hindia Belanda dan menetap di Jawa (1914). Secara khusus ia pergi ke Semarang atas undangan dari mantan sesama mahasiswa, Henry Maclaine Pont, untuk membantu perusahaan arsitekturnya. Di sini Karsten berhadapan dengan masalah perencaan kota yang disesuaikan dengan kondisi spesifik di Jawa. Semarang,saat itu  salah satu wilayah gubernemen yang unik: bukan sebuah pusat birokrasi kolonial atau kota perdagangan, seperti Batavia atau Surabaya.  Semarang adalah jalur transportasi yang utama di Jawa Tengah, memperoleh pengaruh kebudayaan baik dari Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, dan menjadi tempat bermukim banyak kalangan wirausaha dan profesi-profesi lain kalangan Eropa. Secara singkat, Semarang menjadi titik fokus dari ide-ide progresif dan kegiatan dalam semua masyarakat ras utama di Hindia Belanda seperti halnya Amsterdam di Belanda. Didukung oleh industri gula yang telah kembali ke kemakmuran, tetapi dipengaruhi oleh serangkaian bencana alam yang parah, epidemi parah kolera dan wabah, peningkatan 150% penduduk Jawa yang menyebabkan kepadatan penduduk di luar kota, serta masuknya pendatang baru Eropa pada dekade kedua abad ke-20 membuat Semarang menghadapi banyak persoalan tata kota.

Pada tahun 1918 Karsten telah menetapkan serangkaian prinsip-prinsip arsitektur yang menjadikannya menjadi konsultan perencanaan kota. Dia adalah seorang konsultan perencanaan kota Semarang (1916-1920, 1936), Buitenzorg (sekarang Bogor 1920-1923), Madiun (1929), Malang (1930-1935), Batavia (Jakarta, 1936-1937), Magelang (1937-1938), Bandung (1941), serta Cirebon, Meester Cornelis (bagian dari Jakarta yang dikenal sebagai Jatinegara), Yogyakarta, Surakarta, Purwokerto, Padang, Medan dan Banjarmasin.  Di Semarang misalnya, Karsten mendesain kawasan Candi (1916), Pasar Jatingaleh (1930), dan Pasar Johar (1933). Di Surakarta, jejak-jejak Karsten terlihat pada Pasar Gede (1930), Puro Mangkunegaran (1917-1920), dan Stasiun Balapan. Di Yogyakarta, dapat diperhatikan Museum Sonobudoyo (1933).

Menarik dicermati bahwa Karsten menjalin hubungan yang erat dengan penguasaPuro Mangkunegaran, Pangeran Mangkunegoro VII,  kerajaan kecil di dekat Kasunanan Surakarta, selama hampir 30 tahun. Sang pangeran terkenal dengan pembaruan dan ide-ide kreatifnya dan Karsten menyediakan suatu dorongan untuk mewujudkan sebagian dari ide-ide tersebut. Bagaimanapun, Mangkunegoro VII (putra Mangkunegoro V) pernah mengenyam pendidikan di Belanda. Seperti halnya Kartini, ia menolak feodalisme dan menghendaki modernisasi dalam pemahaman budaya Jawa. Sebelum mengenal Karsten, Mangkunegoro VII telah banyak berhubungan dengan arsitek-aristek Belanda. Dan mulai 1917, Karsten dipercaya untuk mendesain renovasi Puro Mangkunegaran.

Setelah karir yang panjang bekerja sebagai perencana kota, pemerintah mengakui Thomas Karsten dengan menunjuk dia duduk di komite resmi. Pertama dia berada di Bouwbeperkingscommissie (Komite  Pembangunan Gedung, 1930), dan kemudian ke Stadsvormingscommissie (Komite Perencanaan Kota 1934).  Pada tahun 1941, ia ditunjuk untuk mengajar  di Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (sekarang ITB). Selama pendudukan Jepang di Indonesia, Thomas Karsten dipenjarakan di kamp Baros Cimahi di dekat Bandung. Dia meninggal di kamp pada tahun 1945. Proyek bangunan  yang ditangani Karsten termasuk dua rumah besar bertingkat dengan atap curam untuk warga Belanda elit, paviliun istana baru baik bergaya Eropa maupun tradisional Jawa, bangunan pasar umum di Yogyakarta (Pasar Beringharjo)  dan Surakarta (Pasar Gede Hardjonegoro), dan kantor pusat sejumlah perusahaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun