Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Juru Bicara Presiden, Melindungi Presiden atau Melayani Pers?

2 Mei 2013   20:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:13 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tulisan yang saya posting sebelumnya, saya membicarakan sejarah konferensi pers kepresidenan dan diakhiri uraian sepintas lalu mengenai Sekretaris Pers, pejabat di lingkungan Gedung Putih dan juga sebagai juru bicara kepresidenan. Nah, tulisan saya berikut ini mencoba memberikan ruang khusus untuk membicarakan posisi Sekretaris Perss yang menurut saya cukup unik dalam politik Amerika.

Seperti saya paparkan sebelumnya, kajian mengenai relasi pers dan Presiden di Amerika sudah berkembang menjadi subtopik tersendiri. Oleh sebab itu, bukan saja riset, akan tetapi juga publikasi mengenai hal itu sudah cukup banyak. Sebutlah misalnya karya Joanne Mattern, The White House Press  Secretary (2003); Wale  Dale Nelson, Who Speaks for the President: The White House Secretariy from Cleveland to Clinton (2000), danWoody Klein, All the President’s Spokesmen: Spinning the News (2008).

Di Indonesia sendiri, posisi semacam itu tidak dikenal sebelumnya. Setahu saya sejak masa Presiden Soekarno tidak ada kelembagaan khusus di lingkungan Istana. Kemudian di masa Presiden Soeharto, hanya publik yang memberikan julukan sebagai “juru bicara Presiden” dan “juru bicara Pemerintah”, yang masing-masing dilekatkan kepada Menteri Sekretaris Negara (terutama sejak era Menteri Moerdiono, 1988-1998; lalu Saadilah Mursyid, 1998; Akbar Tanjung, 1998-1999 dan Muladi, 1999); dan kepada Menteri Penerangan (sejak Menteri B.M Diah, 1966-1971, Boediardjo, 1971-1973, Mashuri, 1973-1978, Ali Murtopo, 1978-1983, Harmoko, 1983-1997, Hartono, 1997-1998, Alwi Dahlan, 1998; serta Yunus Yosfiah, 1998-1999). Presiden B.J. Habibie sempat menunjuk Asisten Wakil Presiden Bidang Globalisasi Dr. Dewi Fortuna Anwar sebagai juru bicara tidak resmi kepresidenan. Presiden Abdurrahman Wahid, yang piawai menarik perhatian pers, pernah mempunyai 6 juru bicara kepresidenan antara lain Wimar Witoelar. Presiden Megawati tidak melanjutkan kebijakan tersebut dan bahkan Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo pada waktu itu membuat aturan yang terkesan protektif terhadap Presiden dan Wakil Presiden, antara lain larangan berbicara langsung. Baru pada era kepresidenan Yudhoyono, ada political appointee yaitu Staf Khusus Presiden sebanyak 2 orang masing-masing juru bicara untuk bidang dalam negeri dan juru bicara untuk  bidang luar negeri.

Di Amerika Serikat, sekalipun bukan anggota kabinet, Juru Bicara Presiden termasuk posisi yang diumumkan sesaat setelah Presiden dilantik tanggal 20 Januari. Seiring dengan berjalannya waktu, jabatan Juru Bicara Presiden telah memberikan pengaruh begitu penting karena pers sendiri secara historis merupakan pengawas pemerintah, keberadaan Juru Bicara Presiden telah memberikan kesempatan untuk memperoleh informasi darinya. Helen Thomas, kolumnis yang tajam dari Hears Newspaper dan bekas wartawan Gedung Putih mengatakan bahwa pers telah menyerah kepada Juru Bicara Presiden sebagai penyambung lidah masyarakat. Di dalam buku terbarunya, perempuan ini mengatakan,”Sesuatu yang penting telah lenyap—atau apakah jurnalis Amerika telah melupakan peran mereka untuk selalu mengikuti kebenaran, tanpa kecemasan atau kenyamanan, siapa yang memperdulikan mereka? Kebenaran, dibandingkan suatu agenda, seharunya menjadi tujuan dari pers.” Selanjutnya, Thomas yang telah mengenal baik dan berkorespondensi dengan Juru Bicara Presiden selama 40 tahun terakhir, menulis,”Sudah merupakan hal yang alami saat Pemerintah mengontrol semua hal yang menyangkut informasi pemerintahan dan memuji jika para wartawan mengikuti konferensi pers tanpa mengajukan suatu pertanyaan.” Dia segera menambahkan,”Pemerintah mampu menghadirkan situasi ini, dan dengan ini wartawan akan memperoleh “kebenaran.” “Malangnya, serangan 11 September dan Perang Irak telah menimbulkan kecemasan terhadap pers, sehubungan dengan ketakutan cap “tidak patriotik.”

Saat ditanya mengenai bagaimanakah posisi yang tepat untuk menyeimbangkan kepentingan Presiden dan kepentingan pers, Dana Perino, Juru Bicara Presiden George W. Bush mengatakan:

Saya sudah mencoba memberikan kepada media suatu jawaban yang tepat secepat mungkin dan sedetail mungkin. Tak ada jalan yang lain kecuali melakukan hal itu. Hal itu semestinya muncul dari mekanisme top down. Pekerjaan saya adalah memberikan sudut pandang Presiden. Presiden sendiri menghendaki suatu hubungan yang bagus dengan pers. Hal tersebut tidak harus diartikan bahwa pers harus menyukai kepribadiannya tetapi pers seharusnya menghargai suatu penuturan bahwa bekerja dengan Presiden seharusnya menjamin bahwa dia akan menjabat lagi. Saat saya menerima pertanyaan yang saya ketahui jawabannya tetapi Presiden menghendaki agar informasi itu tidak disebarkan, maka saya kemudian berkata “Itulah posisi saya yang sesungguhnya pada saat ini.”

Bagaimanakah melayani Presiden Bush sehari-hari? Dikatakan oleh Perino:

Beliau adalah sosok yang menghendaki Anda bekerja keras lebih baik dari hari ke hari. Jika Anda sedang bersama beliau, maka beliau akan selalu bertanya yang membuatmu berada dalam “posisi nol” secepatnya, hal yang terbaik dibandingkan dengan siapapun yang pernah saya temui. Beliau menaruh harapan ke pada saya untuk menjadi pemberi saran yang bagus, mengatakan kepadanya apa yang baik dan yang buruk, dan kemudian hal itu membuat saya bekerja secara profesional sebagai pejabat pers. Saat saya menghadap beliau sebelum dilaksanakannya konferensi pers, beliau akan bertanya apa yang ada dalam benak pers dan kemudian apa yang harus beliau persiapkan. Kadang-kadang beliau menyakan kepada saya jawaban atas suatu pertanyaan. Kadang-kadang beliau bercanda mengenai apa yang beliau inginkan untuk menjawab pers. Dan saya sendiri mendorongnya untuk mengatakan hal tersebut. Saya sungguh menyenangi beliau. Beliau mempunyai perasaan humor yang besar. Saya sendiri telah membantunya sejak beliau menjadi Gubernur Texas tahun 1998.  Saya mengatakan kepadanya bahwa beliau patut untuk menjadi Presiden. Beliau akan menjadi sosok pemimpin besar pada waktu yang dibutuhkan. Saya begitu yakin hal ini dalam lubuk hati saya. Saya tidak malu untuk melakukan itu. Pusat perhatian beliau adalah terhadap sesuatu yang menakjubkan. Saya merasa nyaman berada di sekitar beliau. Beliau dikelilingi oleh orang-orang yang kritis. Beliau  merupakan sosok yang tak menaruh bara dendam dalam dirinya. Sungguh suatu hal yang mengesankan. Saya menduga Anda pun akan senang bekerja dengan beliau.

Tony Snow, pengganti Perino, menggambarkan peran Juru Bicara Presiden sebagai sosok yang menghadapi 2 pemimpin, yaitu Presiden dan pers, akan tetapi keduanya tidak setara. Untuk menjalankan peran yang efisien, seorang juru bicara harus menempatkan pertama-tama adalah loyalitas kepada Presiden.

Hal yang terjadi selama ini adalah apabila seorang kandidat Presiden puas dengan posisi seseorang sebagai juru bicara sepanjang masa kampanye, maka orang tersebut dipastikan akan menempati posisi yang setelah kandidat memenangkan kursi kepresidenan. Sebagai contoh, Jody Powell, pembantu dekat Gubernur Georgia Jimmy Carter, yang membantunya sepanjang kampanye tahun 1976 dan kemudian secara resmi diangkat menjadi Juru Bicara Presiden setelah Carter memperoleh posisi itu. Kemudian, Marlin Ftizwater, sosok yang paling terkenal dan juru bicara terbaik sepanjang era modern, ditunjuk Presiden Ronald Reagen sebagai juru bicara ketika Wakil Preisden George H.W. Bush melakukan kampanye tahun 1988 dan kemudian Presiden Bush menempatkannya dalam posisi di Gedung Putih segera setelah pemungutan suara 4 November 1988. Fitzwater mendampingi Reagen sampai saat pelantikan Presiden yang baru. Oleh sebab itu, pada pagi hari 20 Januari 1989 (saat upacara pelantikan Bush) dia menjadi Juru Bicara Reagen dan sorenya menjadi Juru Bicara Bush. Dialah satu-satunya Juru Bicara yang menaiki sepeda motor pengiring kepresidenan dalam rute Konggres dan Gedung Putih.

Saat kampanye Bill Clinton tahun 1992, Dee Dee Myers, yang menjadi juru bicara saat kampanye itu berlangsung, langsung ditunjuk sebagai Juru Bicara sesaat setelah pelantikan Presiden Clinton. George Stephanopoulos, yang bertindak sebagai coordinator humas saat kampanye, ditunjuk sebagai Direktur Komunikasi dan de facto di tahun 1993, dialah yang menjadi Juru Bicara Presiden, sekalipun Dee Dee Myers telah ditunjuk untuk posisi itu. Berikutnya, Presiden George W. Bush pertama-tama menunjuk Arie Fleischer, sebagai Juru Bicara Presiden, posisi yang sama ditempati saat ia membantu Bush berkampanye.

Posisi Juru Bicara Preisiden termasuk bergengsi. Pierre Salinger, yang menduduki posisi itu saat Presiden Kennedy, mengatakan, “Saya menjadi Juru Bicara Presiden di mana kemudian saya menjadi salah satu diantara 2 pria yang berkuasa di dunia dan saya sungguh bersuka ria dengan posisi ini.” Lama mendampingi Kennedy, Salinger membuat banyak inovasi seperti melaksanakan konferensi pers kepresidenan di televisi, yang membuatnya berperan menyeimbangkan relasi antara media cetak dengan media elektronik. Bill Moyers, Juru Bicara Presiden Johnson, dikenal sebagai sosok yang paling dihormati oleh pengamat televisi dan terkenal sebagai juru bicara yang paling obyektif diantara banyak juru bicara sebelumnya. Moyers dikenal sosok juru bicara yang gentleman, bertutur halus, berpandangan detail, dan di atas segalanya, jujur. Tak ada yang diberikan oleh kalangan media kecuali pujian.

Dalam berbagai perubahan dramatic yang telah berlangsung 8 dekade terakhir yang menggambarkan relasi yang sensitive antara Presiden, Juru Bicara Presiden, pers, dan masyarakat luas, terdapat satu hal yang perlu dicatat: Juru Bicara Presiden selalu mencoba untuk menjalankan langkah terbaik guna menyebarkan informasi kepada pers atau untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pers. Berbagai penilaian terhadap gaya dan perilaku telah dilekatkan pers kepada setiap Juru Bicara Presiden, namun sesuatu yang umum terjadi adalah, mereka selalu setia dan melindungi bos mereka, Presiden, melalui berbagai macam cara.

Bagaimanakah dengan para juru bicara Presiden Yudhoyono? Apakah mempunyai pengalaman yang sama atau justru melakukan sesuatu yang lain? Kita tunggu tutur dari mereka selengkapnya, entah kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun