Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Kudeta Aljazair, dan Inspirasi 1965

24 Juli 2013   03:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:08 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 19 Juni 1965, terjadi kudeta di Aljazair. Terjadi pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Ben Bella oleh Kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair.

Saat itu, dini hari, Presiden Ben Bella sedang tidur nyenyak di Istana, tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan ia diambil dari tempat tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit tanpa ada perlawanan dari pasukan pengawal Istana. Suasana sepi itu sempat diselingi dengan suara berondongan senapan mesin dan deru panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana. Sama sekali tidak ada perlawanan termasuk sesudah kudeta tersebut, yang menandakan semua pasukan ada di bawah kendali Boumedienne.

Dalam pernyataan resmi, Presiden Ben Bella digulingkan karena ia selalu bertindak sewenang-wenang dalam masa 641 kekuasaannya. Sebelumnya, Presiden Ben Bella berencana untuk merombak kabinet. Menteri-menteri yang dinilainya tidak loyal akan disingkirkan. Salah satu menteri yang akan dipecat adalah Menteri Luar Negeri Bouteflika. Rencana itu ditentang oleh Boumedienne yang berakibat kemarahan Ben Bella yang juga berencana untuk memecat Panglima Militer tersebut.

Akibat kejadian itu, Indonesia menjadi sibuk. Apa pasal? Sebelumnya, dalam rangka peringatan 10 tahun Konferensi Asia Afrika di Indonesia, sudah dputuskan untuk menyelenggarakan Konferensi sejenis yang kedua. Untuk itu Aljazair ditunjuk menjadi tuan rumah. Aljazair bahkan sudah mempersiapkan perencanaan konferensi itu, termasuk hari-hari saat kudeta itu terjadi. Aljazair juga sudah memperoleh bantuan Soviet untuk membangun gedung yang akan digunakan untuk konferensi.

Namun, sesudah sidang kabinet, Presiden Soekarno mengakui kekuasaan rezim baru di Aljazair. Pengakuan serupa beberapa jam sebelumnya diberikan oleh Suriah dan kemudian oleh China. Bahkan, Boumedienne selaku penguasa baru menjanjikan dan menjamin bahwa konferensi akan berjalan sebagaimana dijadwalkan dan direncanakan.

Untuk itu, Presiden Soekarno tetap berangkat ke Aljazair pada tanggal 23 Juni 1965. Namun saat delegasi Indonesia singgah di Dacca (sekarang ibukota Bangladesh, dulu masih wilayah Pakistan), para pejabat pemerintahan yang menghadap Presiden Soekarno melaporkan bahwa gedung konferensi di Aljazair diserang oleh ledakan bom. Presiden Ayub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto saat itu sedang tidak ada di Pakistan karena mengikuti konferensi Negara persemakmuran di London.

Atas laporan itu, Soekarno menuju ke Kairo, Mesir. Di sana kemudian bertemu dengan Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri China Chou Enlay. Presiden Ayub Khan diharapkan bergabung di Mesir, tetapi kemudian diwakili oleh Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Bhutto. Sekalipun tetap di Aljazair, pertemuan di Mesir itu memutuskan untuk menunda pelaksanaan Konferensi Asia Afrika II selama 6 bulan. Rencana konferensi itu belum matang benar. Indonesia tegas menolak mengundang Malaysia karena sedang melakukan konfrontasi. Sementara Mesir dan India malah meminta supaya Malaysia diundang. China enggan menerima kehadiran Uni Soviet, karena sekalipun mempunyai wilayah di Asia, tetapi pusat pemerintahannya di Moskow. Sementara tuan rumah, Aljazair waktu itu gigih supaya Soviet diundang karena sudah memberikan hutang untuk membangun gedung konferensi. Indonesia menjadi terjepit posisinya, sebab China mendukung kebijakan konfrontasi dengan Malaysia, sehingga berat untuk tidak mendukung China supaya Soviet tidak diundang. Tetapi, Indonesia saat itu pun mengalami kemesraan hubungan dengan Moskow. Suatu pilihan yang tidak enak.

Kelak kejadian kudeta di Aljazair itu memberikan inspirasi kepada Aidit untuk merumuskan aksi G 30 S. Aidit terpesona oleh keberhasilan Boumedienne, tetapi lupa memperhitungkan satu hal: Boumedienne, sekalipun progresif, bukan pengikut komunis. Demikian pula di Aljazair, kalangan komunis tidak berperan dalam pergerakan kemerdekaan. Ujung tombak revolusi adalah Front Nasional. Dan gerakan itu sendiri mengalami kegagalan dan menjadi pembuka dari salah satu episode sejarah yang gelap bagi negeri ini dengan referensi dan kerumitan-kerumitan di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun