Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum Kewarisan Parental/Bilateral

27 Mei 2013   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:57 6183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yag sama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.

Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.

Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas sampai simbah galih asem dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.

Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai mana sistem hukum warisan matrilineal. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh.

Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris

Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘ ayat 11 dan 12).

Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan Islam. Disamping itu tentunya dakwah Islam berhubungan dengan hukum-hukum keluarga, khususnya hukum warisan belum optimal dilakukan oleh para jura dakwah, sehingga pengetahuann hukum warisan belum dipahami betul oleh umat Islam di daerah pedalaman. Hal ini juga dapat diperhatikan bahwa penyampain ajaran Islam lebih banyak mengenai ibadah mafdhoh, kebanyakan yang berkaitan shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun