Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gubernur Jenderal yang Misterius

8 Mei 2013   04:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:56 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jan Pieterszn Coen merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4. Di kalangan orang Jawa, dia dipanggil “Murjangkung”. Konon orangnya tinggi besar, jangkung dalam istilah Bahasa Jawa. Legenda tentang Coen berhubungan dengan percobaan serangan prajurit Mataram atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Coen lahir pada Januari 1587 di Horrn, Belanda, sebagai putra seorang pedagang yang beragama Protestan. Saat berusia 13 tahun, ia pergi ke Roma untuk mempelajari sejarah dan keterampilan berdagang. Sesudah kembali ke Belanda tahun 1606, dia bekerja di perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC, sebagai pegawai yunior dan menghabiskan waktunya untuk peranan yang lebih besar di Asia. Dia menjadi pegawai senior dan pemeriksa pembukuan tahun 1613. Tahun 1619 ia ditugaskan menjadi Gubernur Jenderal untuk 2 kali masa jabatan: 1619-1623 dan 1627-1629. Dalam masa tugasnya ituia harus berurusan dengan Inggris dan Pangeran Jayakarta setelah ia mendirikan Batavia. Antara 1623-1627 dia kembali ke Belanda. Ia menikah, kemudian terus menerus membangun mimpi mengenai kolonialisme dan perselisihannya dengan Inggris. Dia sendiri meninggal dunia karena terserang disentri saat bertugas kembali di Batavia pada tahun 1629.

Menengok kuburannya yang megah tak ayal Coen diakui sebagai tokoh besar dan termasuk pegawai kerajaan yang terkenal. Misteri di mana ia dimakamkan menghasilkan karya ilmiah dalam 2 jilid yang terbit tahun 1930-an. Banyak usaha untuk mencari di mana lokasi pemakannya. Tetapi lepas dari segala usaha secara intelektual dan kerja arkeologis, suatu identifikasi positif terhadap serpihan tulang yang ditemukan telah memberikan analisis kemungkinan yang “agak pasti.” Penemuan ini, tetap tidak menyakinkan beberapa pengarang karena tidak dapat merekonstruksi kembali sosok Coen. Beberapa pengarang bahkan mendiagnosis Coen sebagai sosok yang mengalami lepotosomatik, atau bahkan orang yang menderita austik. Tetapi selain kondisi fisik dan kesehatannya, kajian terakhir menyajikan suatu pertanyaan apakah Coen layak diberi gelar pahlawan nasional. Ketenarannya tidak diragukan, tetapi reputasinya ternoda hanya oleh beberapa blunder dalam karirnya tersebut. Penaklukan Coen atas Kepulauan Banda (1621) telah menghasilkan kritik yang keras diantara sejumlah persoalan penting mengenai pelayaran.

Perdebatan mengenai kepahlawanan Coen tidak hanya sebatas di Belanda. Hal serupa menimpa sosok Vasco da Gama dan Columbus di Spanyol dan Portugal. Bukan hanya letak makammnya di Belem dan Serville saja, tetapi debat apakah kemampuan mereka “menemukan dunia lain” merupakan tindakan patriotik atau tidak. Ketenaran Coen tidak tertutup sehubungan dengan publikasi di tahun 1930-an dan era pasca kolonial. Diantara 2 monumen yang didedikasikan untuk mengenang Coen di Batavia, hanya satu yang tersisa, terletak di sudut yang tersembunyi di kompleks Museum Wayang, Jakarta sekarang, dengan sebuah tanda situs dari Gereja Reformasi Belanda. Monumen tersebut berupa sebuah prasasti yang merapat pada dinding yang mengisahkan di mana Coen dimakamkan. Surat menyurat yang dilakukannya, yang terkumpul sampai 600 halaman, mewariskan kepada kita suatu peninggalan terakhir, yang sejauh ini menjadi satu-satunya sumber biografi utama yang telah diterbitkan.

Biografi semacam itu hanya sedikit tersedia dalam sejarah kolonialisasi Belanda. Diantara 33 Gubernur Jenderal yang pernah bertugas di Hindia Belanda, terutama yang di bawah naungan VOC (1610-1796), hanya 4 yang mempunyai biografi dalam susunan yang lengkap. Kecilnya jumlah biografi ini dapat dikatakan karena pengaruh Calvinisme di Belanda atau untuk mengamankan kepentingan kebijakan kolonial.Banyak pengarang yang mengatakan bahwa derajat moral dan profesionalisme diantara Gubernur Jenderal yang ditugaskan tersebut rendah, yang baru saja terdidik dalam tingkatan yang rendah dan menjadi arsip VOC, sementara mereka yang berasal dari kalangan kelas atas, ditugaskan di daerah tropis hanyalah karena nasib sial atau untuk menutupi aib keluarga saja.

Coen memperoleh tempat yang membanggakan dalam rintisan penjajahan Belanda di Asia. Sejak permulaan abad ke-18, para pengarang merasa membutuhkanbanyak lembaran halaman untuk membubuhkan riwayat hidupnya, dibandingkan para Gubernur Jenderal yang lain. Belanda sendiri mengambil namanya untuk pemberian nama banyak ruas jalan. Dari sekitar 807 ruas jalan yang ada setelah penjajahan Hindia Belanda, sebanyak 25 diantaranya ditandai dengan nama Coen. Jumlah ini termasuk luar biasa dan menunjukkan tingkat kepopuleran yang tinggi, di samping nama Abel Tasman dan Cornelis de Houtman.Nama Coen juga diabadikan dalam tiap peringatan penjajahan dan sebaagi nama gedung di Amsterdam. Bahkan jalur pelayaran antara Amsterdam ke Batavia seringkali ditunjuk sebagai “Jalur Coen.”

Coen memperolehpenghormatan yang membanggakan selama periode kolonialisasi, khususnya di akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, seiring dengan kesulitan Belanda dalam menaklukkan Aceh selama dekade terakhir abad ke-19. Belanda merasa perlu menampilkan kenangan akan sosok yang kuat untuk menghibur diri dari kegagalan penaklukkan itu.

Coen banyak melakukan surat menyurat. Coen mempunyai gaya yang khas dalam surat menyurat tersebut dan kemampuannya untuk berterus terang dalam menyusun suatu ungkapan diakui hingga sekarang, seperti ungkapan Daar kan iets groots verricht worden (pencapaian besar akan dapat diraih), daeromme moet men geen couragie verliesen (meskipun kematin sudah sampai di mulut kita, namun kita jangan sampai kehilangan keberanian), tetapi sebagian besar surat menyurut, baik yang ditulis maupun dikirimkan kepadanya, menunjukkan ketimpangan dalam karirnya. Sedikit diketahui untuk 27 tahun kehidupan pertamanya, termasuk pendidikan yang diperolehnya di rumah (homeschooling), kiprahnya di Roma, dan perjalanan pertamanya ke Asia. Orang hanya dapat menduga pengaruh kehidupannya sepanjang dia berada di Roma (1600-1606) yang menumbuhkan sikapnya sebagai penganut Calvinisme muda seperti Coen.Problem yang tidak terkuak juga mengenai peningkatan kariernya di VOC. Apakah hal itu karena kapasitas diri pribadi atau adakah faktor-faktor lain yang terlibat? Apakah kepribadian dan kualitas profesionalnya sedemian luar biasa dalam karir tersebut? Bahkan, yang menakjubkan apakah mungkin Coen sendiri yang merancang strukturisasi kembali organisasi VOC ataukah dia hanya meneruskan saja kebijakan sebelumnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun