Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

China, Sosialisme atau Kapitalisme?

24 Februari 2014   16:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan, "Apakah China kapitalis atau sosialis?" nampaknya terlalu umum dan abstrak. Bahkan, China sebenarnya sudah mengikuti jalur asli sejak tahun 1950, dan mungkin bahkan sejak Revolusi Taiping pada abad ke-19. Saya akan mencoba di sini untuk menjelaskan sifat dari jalur asli ini pada setiap tahap perkembangannya dari tahun 1950 sampai hari ini-2013.

Mao menggambarkan sifat revolusi yang dilakukan di China oleh Partai Komunis sebagai sebuah revolusi anti-imperialis/anti-feodal menuju sosialisme. Mao tidak pernah mengasumsikan bahwa setelah ditangani dengan imperialisme dan feodalisme , orang-orang China telah menjadi masyarakat sosialis. Dia selalu menyebut konstruksi ini sebagai tahap pertama dari jalan panjang menuju sosialisme .

Saya harus menekankan sifat spesifik dari respon yang diberikan terhadap masalah kepemilikan tanah oleh Revolusi Cina.  Dengan melakukan distribusi tanah (pertanian) dan tidak  melakukan privatisasi sehingga setiap lahan tetap menjadi milik negara dengan diwakili oleh desa dan kemudian diberikan kepada keluarga yang tinggal di pedesaan. Cara ini tidak pernah terjadi di Rusia di mana Lenin sehubungan pemberontakan petani pada tahun 1917, yang mengakui kepemilikan pribadi sebagai manfaat dari distribusi tanah. Mengapa pelaksanaan prinsip bahwa lahan pertanian bukan merupakan komoditi hanya terjadi di Cina (dan Vietnam) sebagaimana yang telah terjadi di China, keputusan untuk menasionalisasi tanah akan menyebabkan perang antarpetani yang tak berujung, seperti yang terjadi ketika Stalin mulai kolektivisasi paksa di Uni Soviet.

Sikap petani China dan Vietnam (dan tempat lain) tidak dapat dijelaskan oleh "tradisi" di mana mereka tidak menyadari makna penting properti. Ini adalah produk garis politik cerdas dan luar biasa yang dilaksanakan oleh Partai Komunis dari kedua negara tersebut.

Kesadaran akan kepemilikan property bagi petani terjadi pada  abad ke-19 di Eropa. Selama transisi panjang Eropa dari feodalisme ke kapitalisme (1500-1800), bentuk-bentuk feodal sebelumnya dilembagakan melalui akses terhadap tanah melalui hak bersama antara raja, bangsawan, dan budak petani berangsur-angsur telah dihapuskan dan digantikan oleh kepemilikan pribadi yang melahirkan borjuis modern, yang memperlakukan tanah sebagai komoditas yang bagi yang menguasai dapat membeli atau menjualnya secara bebas. Kalangan sosialis menolak cara semacam itu.

Revolusi Bolshevik di Rusia menerima model Eropa itu sampai 1917. Mereka menekankan nasionalisasi perkebunan besar aristokrasi Rusia, sementara meninggalkan properti di tanah komunal kepada para petani. Namun, mereka kemudian tidak sadar oleh pemberontakan petani, yang merebut perkebunan besar.

Mao menarik pelajaran dari sejarah ini dan mengembangkan garis yang sama sekali berbeda. Dimulai pada tahun 1930 di kawasan selatan China, selama perang saudara, Mao menyadari peningkatan aksi Partai Komunis yang membangun aliansi yang kuat dengan kaum tani miskin dan tak bertanah (mayoritas), mempertahankan hubungan persahabatan dengan petani menengah, dan menyingkirkan para petani kaya di semua tahapan perang, tanpa harus memusuhi mereka. Keberhasilan cara ini sebagian besar disebabkan karena penduduk pedesaan tidak membutuhkan kepemilikan pribadi atas lahan yang diperoleh melalui distribusi. Saya berpikir bahwa ide-ide Mao , dan implementasi sukses mereka , memiliki akar sejarah Revolusi Taiping abad ke-19. Mao berhasil sementara Partai Bolshevik telah gagal : dalam membangun aliansi yang kuat dengan mayoritas penduduk pedesaan dalam jumlah besar.

Pada awalnya, pada tahun 1950-an, bentuk yang diadopsi adalah produksi keluarga kecil dikombinasikan dengan bentuk sederhana kerjasama untuk mengelola irigasi, pekerjaan yang membutuhkan koordinasi, dan penggunaan beberapa jenis peralatan. Hal ini terkait dengan penyisipan produksi keluarga kecil tersebut menjadi perekonomian negara yang mempertahankan monopoli atas pembelian produk yang ditujukan untuk pasar dan penyediaan kredit, semua atas dasar harga yang ditentukan oleh pusat.

Pengalaman sistem komunal yang diikuti pembentukan koperasi produksi di tahun 1970-an memberikan pelajaran yang berarti. Sistem ini berasal berasal dari aspirasi untuk pembangunan sosialis yang terdesentralisasi. Setiap anggota komunal tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk mengelola produksi pertanian dari sebuah desa yang besar tetapi mereka juga menyediakan kerangka kerja yang lebih besar untuk : ( 1 ) membentuk industri yang mempekerjakan petani pada musim tertentu , (2 ) mengartikulasikan kegiatan ekonomi produktif bersama-sama dengan manajemen pelayanan sosial ( pendidikan, kesehatan, perumahan ), dan (3) rintisan desentralisasi administrasi politik masyarakat.

Keputusan untuk membubarkan sistem ini oleh Deng Xiaoping pada tahun 1980 memperkuat produksi keluarga kecil, yang tetap dominan selama 30 tahun berikutnya. Namun, berbagai hak-hak pengguna telah berkembang jauh. Berkembangnya sistem penyewaan lahan, telah memicu urbanisasi, terutama bagi kaum muda terdidik yang tidak ingin untuk tetap tinggal di pedesaan penduduk. Juga memicu skala usaha pertanian menjadi lebih besar lagi. Cara ini digunakan untuk mendorong produksi khusus (seperti anggur), dan sebagainya.

Perpindahan penduduk dari pedesaan China yang sangat padat penduduknya (seperti juga terjadi di Vietnam, Bangladesh, dan Mesir) telah menjadi faktor yang penting. Fakta ini meningkatkan produksi kecil di pedesaan, membuat ketersediaan lahan semakin luas. Transfer ini, meskipun relatif terkendali (sekali lagi, tidak ada yang sempurna dalam sejarah umat manusia, baik di China maupun di tempat lain), mungkin dikhawatirkan terlalu cepat. Ini sedang dibahas di China.

Label pertama yang terlintas dalam pikiran untuk menggambarkan realitas China adalah kapitalisme negara. Label ini sangat baik tetapi label ini masih samar-samar dan dangkal jika konten tertentu tidak dianalisis.

Memang ada kapitalisme dalam arti terdapat relasi pekerja dengan otoritas yang mengatur produksi mirip dengan salah satu sendi kapitalisme: buruh tunduk dan terasing, ekstraksi surplus tenaga kerja. Situasi ini memungkinkan tidak terpenuhinya syarat-syarat kerja yang baik seperti tuduhan eksploitasi dalam penggunaan tenaga kerja dalam sektor pertambangan atau kelonggaran dalam mempekerjakan kaum perempuan. Keadaan ini menjadi skandal bagi sebuah negara yang mengklaim ingin maju di jalan menuju sosialisme. Namun demikian, pembentukan rezim kapitalis negara tidak dapat dihindari.

Kapitalisme negara di China diperlukan, dalam tahap pertama (1954-1980), dengan melakukan nasionalisasi semua perusahaan (dikombinasikan dengan nasionalisasi lahan pertanian), baik besar maupun kecil. Kemudian disusul izin pendirian perusahaan swasta domestic maupun di asing, dan meliberalisasi produksi kecil pedesaan dan perkotaan (perusahaan kecil, perdagangan, jasa). Namun, industri dasar besar dan sistem kredit yang telah dibentuk selama periode Maois tidak didenasionalisasi, bahkan jika mereka kemudian menjadi sebuah "pasar" ekonomi yang dimodifikasi. Pilihan ini bergandengan tangan dengan pembentukan alat kontrol inisiatif pribadi dan potensi kemitraan dengan modal asing.

Pelaksanaan kapitalisme negara di China yang dilaksanakan dalam kurun waktu 1950-2012 cukup menakjubkan. Kebijakan ini berhasil membangun sistem produksi modern yang berdaulat dan terintegrasi dengan skala besar, yang hanya dapat dibandingkan dengan Amerika Serikat. Ini telah berhasil meninggalkan ketergantungan teknologi (impor Soviet) melalui pengembangan kapasitasnya sendiri untuk menghasilkan penemuan teknologi.

Dalam beberapa dekade, China telah membangun produktivitas, melaksanakan urbanisasi industri yang menyatukan 600 juta manusia, yang 2/3 diantaranya berlangsung dalam 10 tahun terakhir. Hal ini karena disebabkan sistem perencanaan dan tidak menyerahkan kepada mekansime pasar. China sekarang memiliki sistem yang benar-benar produktif berdaulat. Tidak ada negara lain di kawasan Selatan (kecuali Korea dan Taiwan) yang berhasil melakukannya. Di India dan Brazil hanya ada beberapa elemen berbeda proyek serupa.

China memasuki globalisasi pada tahun 1990-an melalui jalur percepatan ekspor manufaktur mungkin bagi sistem produktif, memberikan prioritas pertama untuk ekspor yang tingkat pertumbuhannya kemudian melampaui pertumbuhan PDB. Kemenangan neoliberalisme ini berlangsung selama 15 tahun terakhir (1990-2005). Mempertahankan kebijakan ini tentu saja mengundang pertanyaan, bukan hanya karena efek politik dan sosial, tetapi juga karena terancam oleh ledakan kapitalisme global neoliberal, yang dimulai pada 2007. Pemerintah China tampaknya menyadari hal ini dan sejak dini melakukan koreksi dengan memberikan kepentingan yang lebih besar ke pasar domestik dan pengembangan kawasan barat China.

Tetapi dalam aspek keuangan, nampaknya China enggan mengintegrasikannya ke dalam kancah global. Sistem perbankan berorientasi domestic dan focus kepada pasar kredit dalam negeri. China sama sekali tidak terpikat dengan flesibelitas bursa keuangan dunia. Beijing bisa dengan tegas berkata kepada Washington, “Yaun adalah uang kami dan masalah Anda”, serupa dengan sikap AS kepada Eropa tahun 1971, “dolar adalah uang kami dan masalah Anda.” China memupuk cadangan devisi yang besar dan demikian dalam belanja publik dapat menghindari terjadinya inflasi.

Tidak seorang pun menjadi ragu bahwa kekuatan China mulai tumbuh. Dan itu hanyalah upaya memulihkan supremasi yang sudah terjadi berabad-abad lampau dan tertekuk selama abad ke-19. Situasi itu terjadi karena China masih bergerak dalam sosialisme versi mereka dan belum terlampau serius untuk menapak jalan kapitalisme.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun