Amerika Serikat selalu berambisi untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Irak Saddam Hussein. Amerika Serikat memang tidak menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein dari kekuasaan selepas Perang Teluk 1991. Selanjutnya, Amerika Serikat berusaha untuk menjatuhkan Saddam dari kekuasaan dengan mendukung pembangkang di Irak, kalangan Syiah dan Kurdi, meskipun tidak terjadi perubahan apapun hingga tahun 1998.
Pada bulan November 1998, di tengah perseteruan dengan Irak atas isu senjata pemusnah massal (WMD ), pemerintahan Clinton menyatakan bahwa Amerika Serikat akan berusaha untuk mempromosikan perubahan rezim.
Kebijakan itu disahkan melalui Undang-Undang Pembebasan Irak (tanggal 31 Oktober 1998) . Presiden Bush menekankan perubahan rezim sebagai landasan kebijakan AS terhadap Irak sejak serangan 11 September 2001. Operasi Pembebasan Irak diluncurkan pada tanggal 19 Maret 2003 dan telah efektif menjungkalkan Saddam Hussein dari kekuasaan pada 9 April 2003 . Saddam Hussein ditangkap hidup-hidup pada 13 Desember 2003.
Tujuannya tindakan Presiden Bush saat itu adalah mengubah Irak menjadi sebuah negara demokratis yang bisa menjadi model bagi wilayah lain. Irak tidak memiliki pengalaman dengan bentuk pemerintahan demokratis, meskipun pemilihan parlemen diadakan selama periode penjajahan Inggris di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa (1920-1932).
Irak, yang merdeka pada tahun 1932, diperintah oleh raja-raja dari dinasti Hashemite selama 1921-1958, meskipun dengan pengaruh Inggris. Anggota dinasti Hashemit terus memerintah di negara tetangga Yordania. Keturunan pertama Dinasti Hashemit yang menjadi raja di Irak adalah Faysal bin Hussein, putra Sharif Hussein dari Mekah, yang memimpin pemberontakan Arab melawan Kekaisaran Ottoman. Faysal memerintah Irak sebagai Raja Faysal I dan digantikan oleh putranya, Ghazi (1933-1939). Ghazi digantikan oleh putranya, Faysal II, yang memerintah sampai kudeta militer oleh Abd al-Karim al-Qasim pada tahun 1958. Abd Karim lalu digulingkan pada bulan Februari 1963 oleh aliansi Partai Baath dan perwira militer.
Salah satu sekutu Partai Baath dalam kudeta Februari 1963 tersebut adalah Abd al-Salam al Arif. Pada bulan November 1963, Arif disingkirkan peran Partai Baath, termasuk memecat Perdana Menteri Ahmad Hasan al-Bakr, dan kemudian ia memimpin pemerintahan junta militer. Arif tewas dalam kecelakaan helikopter pada tahun 1966 dan digantikan oleh kakaknya, Abd al-Rahim al-Arif, yang memerintah sampai kudeta yang dilakukan oleh Partai Baath pada Juli 1968.
Setelah dikendalikan oleh Partai Baath, Ahmad Hasan al-Bakr, seorang tokoh militer, menjadi Presiden Irak dan Saddam Hussein, seorang warga sipil, menjadi pemimpin yang paling kuat kedua karena menduduki jabatan selaku Wakil Ketua Dewan Komando Revolusi. Dalam posisi itu, Saddam mengembangkan dan mengawasi sistem keamanan untuk memantau loyalitas di kalangan penduduk dan dalam institusi Irak, termasuk militer. Pada bulan 17 Juli 1979, Saddam mendesak mudnur al-Bakr, dan kemudian menetapkan dirinya menjadi Presiden Irak.
Saddam kemudian mengobarkan perang dengan Iran, yang baru saja mengalami transisi karena tumbangnya kekuasaan monarki yang disokong Amerika Serikat. Dan tentu saja dalam Perang Iran-Irak (1980-1988) itu, Amerika Serikat menjadi pendukung setia Saddam dengan memasok senjata untuk menggempur bekas Sekutunya tersebut.
Presiden George H.W. Bush (bekas Duta Besar PBB, bekas Direktur CIA, bekas Wakil Presiden) kemudian menjadi Presiden (1988-1992). Pada 2 Agustus 1990, Irak menyerbu Kuwait, mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari kedaulatannya, konon setelah disetujui oleh Amerika Serikat.
Anehnya, Amerika Serikat bersekutu dengan Barat dan Arab Saudi membentuk pasukan multinasional untuk membebaskan Kuwait dan mendesak mundur pasukan Irak. Proyek itu digelar 16 Januari 1991 dengan sandi “Operasi Badai Gurun.” Bahkan, jauh sebelum operasi itu sendiri dilaksanakan, Presiden Bush tegas menghendaki jatuhnya Saddam Hussein dengan memihak kepada kalangan oposisi, Syiah dan Kurdi, untuk melakukan pemberontakan.
Pemberontakan itu semakin berkobar sesudah selesainya misi Perang Teluk pada 28 Februari 1991. Namun, Pasukan Garda Revolusi berhasil mempertahankan Baghdad. Kalangan Syiah menggerutu bahwa Amerika Serikat tidak sungguh-sungguh membantu terhadap pemberontakan itu. Tetapi pada bulan April 1991, kalangan Kurdi di utara Irak berhasil memanfaatkan zona larangan terbang yang disokong Amerika Serikat, berhasil mendesak pasukan Irak keluar dari basis wilayah mereka.
Menurut laporan pers, sekitar dua bulan setelah kegagalan pemberontakan Syiah tersebut, Presiden George H.W Bush memberikan pesan kepada Kongres temuan intelijen yang menyatakan bahwa Amerika Serikat akan melakukan upaya-upaya untuk mempromosikan kudeta militer terhadap Saddam Hussein dan akan disokong dengan anggaran sebesar US$ 15 juta-20 juta. Pemerintah rupanya percaya bahwa kudeta oleh unsur-unsur dalam rezim saat itu bisa menghasilkan pemerintahan baru yang menguntungkan tanpa memecah-belah Irak.
Banyak pengamat, termasuk negara tetangga, takut bahwa kelompok-kelompok Syiah dan Kurdi, jika mereka menggulingkan Saddam, akan membagi Irak menjadi ajang pertikaian kelompok etnis dan suku, mendorong Irak untuk mempengaruhi Iran, Turki, dan Suriah.
Laporan upaya kudeta serius tapi gagal pada Juli 1992 awalnya dianggap sebagai tanda bahwa strategi AS mungkin akhirnya berhasil. Namun, ada kekecewaan dalam diri Presiden George H.W Bush karena kudeta itu akhirnya gagal dan Amerika Serikat kemudian mengubah strategi dengan mendukung kelompok-kelompok oposisi yang beragam yang telah memimpin pemberontakan pasca-perang.
Pada saat yang sama, gabungan unsur-unsur oposisi Kurdi, Syiah, dan lain-lain menjadi gerakan yang luas dan beragam yang tampaknya mendapat dukungan internasional. Koalisi oposisi ini menyediakan kendaraan bagi Amerika Serikat untuk membangun strategi penggulingan Saddam Hussein. Kongres meningkatkan anggaran hampir dua kali lipat untuk dukungan rahasia kepada kelompok oposisi dalam jumlah US $ 40 juta pada tahun anggaran 1993.
Koalisi oposisi tumbuh menjadi sebuah organisasi yang disebut Kongres Nasional Irak (INC). INC secara resmi dibentuk ketika dua milisi utama Kurdi, Partai Demokrat Kurdistan (KDP) dan Uni Patriotik Kurdistan (PUK), berpartisipasi dalam sebuah pertemuan di Wina dengan puluhan kelompok oposisi pada Juni 1992. Pada bulan Oktober 1992, kelompok Syiah utama bergabung dengan INC.
Kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak menjadi lebih tegas terutama setelah serangan 11 September 2001 dengan menekankan perubahan rezim di Irak. Segera sesudah menggulingkan Taliban dan Al Qaeda di Afghanistan pada awal Oktober 2001, spekulasi mulai terbangun bahwa Pemerintah mencoba untuk mengubah rezim Irak melalui penggunaan langsung kekuatan militer sebagai bagian dari "fase kedua" perang terhadap terorisme .
Beberapa pejabat, seperti Wakil Menteri Pertahanan Wolfowitz, percaya bahwa Amerika Serikat perlu membalas serangan 11 September 2001 dengan mengakhiri semua rezim yang mendukung kelompok-kelompok teroris, termasuk Irak.
Pada 29 Januari 2002, di hadapan Konggres Presiden Bush menyebut Irak sebagai bagian dari "poros kejahatan" bersama-sama dengan Korea Utara dan Iran. Wakil Presiden Cheney mengunjungi Timur Tengah pada Maret 2002 dan dilaporkan untuk berkonsultasi dengan negara-negara Arab tentang kemungkinan menghadapi Irak secara militer, meskipun negara-negara yang dikunjungi dilaporkan mendesak perhatian Amerika Serikat lebih besar untuk sengketa Arab - Israel dan tidak mendukung tindakan militer terhadap Irak.
Pemerintah Amerika Serikat juga semakin gencar menuduh bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, menyusul kegagalan misi PBB untuk melakukan pemeriksaan atas intalasi nuklir di negara itu.
Selagi misi PBB di Irak memperoleh mandat baru melalui Resolusi 144, Pemerintahan Bush menuntut perlucutan senjata lengkap dan kerjasama penuh jika Irak ingin menghindari aksi militer. Dewan Kemananan PBB menentang opsi aksi milite terhadap Irak, termasuk Perancis, Rusia, Tiongkok, dan Jerman.
Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Bulgaria menolak upaya lebih lanjut dalam ranah diplomatik. Presiden Bush menegaskan pada 17 Maret 2003, bahwa opsi diplomatik untuk melucuti Irak secara damai telah gagal dan tiba saatnya untuk melakukan aksi militer. Malam itu, Presiden Bush memberikan Saddam Hussein dan anak-anaknya, Uday dan Qusay, ultimatum untuk meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam untuk menghindari perang. Mereka menolak ultimatum tersebut dan Operasi Pembebasan Irak diluncurkan pada 19 Maret 2003.
Dalam peperangan itu, pasukan militer Irak kewalahan menghadapi pasukan Amerika Serikat dan Inggris, meskipun militer Irak menggunakan taktik yang tidak konvensional. Tidak ada komandan militer besar Irak atau tokoh politik Partai Baath maju untuk mencoba membentuk pemerintahan pasca-Saddam, tetapi pemimpin rezim senior melarikan diri dari Baghdad, dan keberadaan beberapa pimpinan tertinggi, termasuk Saddam Hussein, tidak diketahui. Tidak ada senjata pemusnah massal yang digunakan, meskipun Irak mengerahkan rudal balistik ke Kuwait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H