Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ancaman Leninisme Pasar

30 Maret 2014   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang terjadi sebagai akhir sejarah. Hampir 25 sesudah runtuhnya Tembok Berlin, mulai muncul gagasan bahwa demokrasi kapitalisme diharapkan akan membawa keterangan, namun yang terjadi sesungguhnya adalah situasi politik yang tidak memuaskan.

Ideology komunisme barangkali sudah terlempar bagai onggokan abu seperti ajaran Nazi sebelumnya, tetapi “Leninisme Pasar” (Market Leninism) kemudian menggantikannya sebagai tantangan terbesar dalam abad ke-21 ini.

Rusia dan China serta sekutu tradisionalnya menggeser Lenin dan Mark lalu mengusung ide Leninisme Pasar. Negara dengan satu partai yang disokong militer dipertahankan, tetapi ambisi baru sekarang adalah menghimpun kekuatan dana global dan berpesta dalam pesawat jet yang megah dibandingkan berfoya-foya dalam tembok gelap yang tertutup.

Dari beberapa sudut, hal ini mencerminkan kemenangan kekuatan Barat dalam Perang Dingin.

Bahkan negara bekas komunis pun menyanjung bahwa kapitalisme—sekalipun berlangsung dalam sistem yang korup, kroniisme, dan terkontrol—efektif untuk membebaskan rakyat dari jurang kemiskinan dan slogan-slogan proletariat lainnya. Ini membantu mempertahankan kekuasaan.

Bagi beberapa orang, tersedianya uang dalam saku mereka ditambah buaian nasionalisme merupakan suatu kemenangan dalam menghadapi kancah global. Mereka menutup mata dengan isu Krimea dan pendudukan Tibet, dan mereka sanggup berbagi kekacauan itu sembari menginap di Hotel Four Seasons setempat.

Demokrasi Barat nampaknya tidak sanggup mempertahankan dirinya menghadapi curahan ide-ide baru terhadap suatu sistem politik.

Seperti ditulis oleh Majalah The Economist yang secara jitu mempertanyakan, “What’s Gone Wrong With Democracy”. Ditulis bahwa “Demokrasi bertaji dalam menggulingkan rezim yang tidak populer di Kairo atau Kiev, tetapi segera ditemukan kekecewaan sesudah itu…Demokrasi berkaitan dengan hutang dan kekacauan dalam negeri dan campur tangan luar negeri yang melampaui batas.”

Bahkan di AS, demokrasi telah membuat “kebijakan pemerintahan menjadi kurang stabil, kurang terprediksi, dan kurang efektif”, seperti dilansir oleh lembaga pemeringkat kredit S&P. Kebebasan pemerintah cenderung menjadi kebebasan untuk melakukan sabotase. Undang-undang diloloskan karena bujukan kalangan pelobi. Sebagai akibatnya, kebersamaan sebagai suatu bangsa dianggap lemah di mata pesaing. Malangnya lagi, para pemuka perusahaan global senang berinvestasi di negara otoriter, bukan karena jaminan keuntungan, namun karena mereka lelah memandang sistem politik di AS yang makin lama makin tidak efisien.

Namun dalam tahun-tahun terakhir, Leninisme Pasar menawarkan gagasan baru untuk mencapai kesetaraan moral. Para dictator dengan senang hati akan mendukung gagasan ini daripada demokrasi sembari menekankan nonintervensi dan otonomi kebudayaan.

Dunia akan kembali terbelah, sementara uang akan mengalir ke rekening-rekening mereka di Swiss. Ini lebih baik dibandingkan situasi perang dingin yang penuh dengan ancaman nuklir tetapi tetap saja ini berbahaya.

Leninisme Pasar akan bertentangan dengan kebebasan.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun