Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Akrobat Susno, Amaterisme Pejabat

25 April 2013   18:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:36 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1366906270600760540

[caption id="attachment_257215" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption]

Saat mengikuti kuliah Profesor Sudikno Mertokusumo (almarhum) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hampir 16 tahun yang lampau,  berikut sering mengikuti karya-karyanya, saya sangat terinspirasi dengan pendapat-pendapat guru besar ini. Walaupun disampaikan dalam bahasa yang sederhana, saya merasakan perkataan-perkataan Profesor Sudikno justru menunjukkan kedalaman ilmu dan tanggapnya terhadap situasi hukum yang terjadi.

Dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar Hukum Acara Perdata (1983), sang profesor antara lain mengeluhkan terjadinya acrobat hukum dalam masyarakat yang salah satunya dipicu oleh sikap “amaterisme” pejabat hukum. Sikap itu, kata Profesor Sudikno, ditandai dengan ucapan-ucapan atau tindakan-tindakan pejabat yang tidak mengerti hukum tetapi kemudian menjadi rujukan publik dalam menilai suatu permasalahan. Dalam beberapa kata pengantar dalam buku yang ditulisnya, Profesor Sudikno juga mengeluhkan betapa hukum acara, ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk menegakkan hukum, acapkali diabaikan dan studi terhadapnya juga jarang dilakukan.

Dalam konteks sekarang, apa yang diucapkan atau dituliskan oleh Profesor Sudikno itu menurut saya masih mengandung relevansi yang tinggi. Tak kurang, sikap amaterisme itu kadang-kadang melanda mereka yang menjadi penegak hukum. Maka barangkali tidak jarang dikeluhkan adanya putusan pengadilan yang tidak konsisten, dakwaan yang tidak lengkap, dan sebagainya. Di tengah keluhan publik mengenai akses keadilan yang belum berkesetaraan dan riuh rendahnya politisasi hukum di negeri ini, amaterisme kemudian menjadi sumbangan yang tidak positif bagi tegaknya rule of law di negara kita.

Kasus Susno Duadji—yang oleh Kompas—disebut gejala “akrobat hukum”—mengkonfirmasikan hal tersebut. Lepas dari kemungkinan politisasi dan kriminalisasi terhadap Susno, mantan Kabareskrim Polri tersebut, ada aspek prosedural yang selama ini tidak pernah atau jarang memperoleh perhatian. Bagaimanapun mengingat posisi Susno sebelumnya, kasusnya kemudian memperoleh perhatian dan sorotan publik secara luas.

Sejak 2011, Susno harus bolak balik ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menghadiri sidang yang mendakwanya untuk 2 perkara pidana sekaligus. Pertama, saat menjadi Kabareskrim Polri, ia didakwa menerima uang dalam menangani kasus PT Salmah Arowana Lestari. Dan kedua, saat menjabat Kapolda Jawa Barat, pria kelahiran Sumatera Selatan 1 Juli 1954,  dituduh menggelapkan dana Pemilukada Jawa Barat (2008) sebesar Rp 4,2 miliar. Luar biasa, satu orang bisa didakwa untuk disidang dalam satu waktu dan satu tempat sekaligus.

Berbagai bukti dan saksi yang diajukan tak menggoyahkan keyakinan hakim bahwa Susno bersalah dan menjatuhkan pidana penjara 3 tahun 6 bulan (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1260/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel, 24 Maret 2011). Upaya banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta kandas, karena pengadilan ini mengamini putusan pengadilan sebelumnya. Hanya saja ada kesalahan pada surat putusan. Nomor register tidak sama, dan Susno, lewat pengacaranya, mengatrakan bahwa putusan tersebut cacat dan tidak dapat dilaksanakan (dalam putusan Pengadilan Tinggi, tertulis antara lain “mengubah Putusan Pengadilan Negeri No. 1288/Pid.B/2010/PN.Jkt.Sel, 21 Februari 2011”).

Atas putusan Pengadilan Tinggi, baik Susno maupun jaksa sama-sama tidak puas dan kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan MA (Putusan No. 899K/PID.SUS/2012 tanggal 22 November 2012) menolak kasasi kedua-duanya. Di sinilah masalahnya, pihak Susno menganggap putusan Pengadilan Tinggi tidak dapat dilaksanakan karena cacat hukum, lagipula putusan Mahkamah Agung tidak menenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berisi perintah penahanan terhadap terdakwa, sehingga patut dianggap batal demi hukum. Sementara pihak kejaksaan menganggap rujukan yang benar adalah putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dalam perkembangan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pada 22 November 2012 mengatakan bahwa “Pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila diartikan putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Ini yang dinamakan putusan “inkonstitusional bersyarat.” Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi berpendapat Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut dianggap tidak ada. Jadi, sekalipun ada putusan pengadilan yang tidak mencantumkan ketentuan tersebut, maka tidak serta merta menjadi batal demi hukum.

Di sinilah akrobat hukum itu berjalin kelindan. Putusan Pengadilan Tinggi mengabaikan tata cara administrasi perkara, hal yang sebenarnya menunjukkan tidak profesionalnya hakim dalam memutus perkara. Putusan Mahkamah Agung sama sekali tidak menyinggung kekeliruan itu dan justru menolak untuk memeriksanya, tetapi tidak pernah memuat perintah penahanan sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, padahal dengan kata lain, Mahkamah Agung menyetujui putusan Pengadilan Negeri.

Mahkamah Konstitusi sendiri berpendapat bahwa suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan, sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan status terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana. Namun, ada atau tidaknya pernyataan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk menguji peraturan tersebut dan menafsirkan sebagai “inkonstitusional bersyarat” atas ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.

Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi menjunjung tinggi dalil “res judicata pro veritate hebitur” artinya suatu putusan pengadilan harus dianggap benar sampai diuji atau dibatalkan pengadilan yang lain. Asas tersebut sebenarnya lahir dari tradisi di Prancis sejak abad ke-18, di mana para hakim tidak boleh menafsirkan Undang-Undang, melainkan hanya membaca dan menempatkannya dalam suatu perkara. Dalam tradisi liberal, asas itu diambil alih dengan ketentuan bahwa ada posisi yang setara antara negara dengan terdakwa, sehingga proses peradilan harus benar-benar mencerminkan “due process of law.” Namun Mahkamah Konstitusi melewatkan pandangan bahwa hak-hak terdakwa, yang menjiwai penyusunan KUHAP, harus dilindungi secara adil. Ketentuan yang memerintahkan supaya pengadilan memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum, sehingga hak-hak konstitusional terpidana sebagai warganegara akan tetap terlindungi. Saya setuju dengan dissenting opinion hakim Hamdan Zulfa, bahwa ketentuan itu dapat menjadi mainan dan disalahgunakan oleh aparat penegak hukum yang tidak jujur. Karena itu permohonan mestinya dikabulkan dan tidak perlu Mahkamah Konstitusi memberikan  makna tambahan mengenai keberadaan Pasal 197 ayat (2) yang mengatur bahwa putusan batal demi hukum jika tidak dipenuhi syarat Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut.

Ketidaktegasan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 197 ayat (2) KUHAP tersebut rupa-rupanya mempengaruhi sikap Jaksa Agung. Dalam suatu kesempatan, Jaksa Agung mengatakan tetap akan mengeksekusi putusan kasasi tersebut. Sebenarnya, dengan ditolaknya kasasi itu, maka yang berlaku adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ada suatu kekeliruan, kalau perintah jaksa untuk melakukan eksekusi bertumpu pada putusan kasasi yang sudah ditolak. Jadi, ada atau tidaknya putusan Mahkamah Konstitusi; ada atau tidaknya kekeliruan penomoran putusan Pengadilan Tinggi, tidak menjadi Jaksa Agung untuk memberikan perintah eksekusi, dengan catatan dasarnya adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dengan alasan ini, langkah kejaksaan akan mendapatkan kepastian hukum, sementara penolakan Susno juga tidak lagi dibenarkan. Karena pemahamannya ditarik kepada suatu hal yang lebih jauh, maka publik pun terseret dalam pro dan kontra tersebut, termasuk ucapan-ucapan petinggi nonhukum seperti Ketua DPR Marzuki Ali, yang meminta Mahkamah Agung mengoreksi putusan tersebut. Bukankah kasasi adalah upaya hukum yang bersifat final? Bukankah Mahkamah Agung bersifat pasif, menunggu datangnya permohonan kasasi dan kemudian melakukan pemeriksaan terhadapnya? Demikian juga ucapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang melarang putusan Susno dimultitafsirkan. Putusan yang manakah yang dimaksud oleh sang menteri?

Lihat juga pernyataan Profesor Yusril Ihza Mahendra, yang mengatakan bahwa jaksa dalam mengeksekusi Susno harusnya bertumpu pada undang-undang, dan bukan perintah atasan, seperti lazim berlaku di kepolisian atau militer. Sang profesor nampaknya lupa bahwa jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan, demikian bunyi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Aparatur kejaksaan tersusun  hierarki yang berpuncak di Jaksa Agung. Jadi, tidak masalah dengan alasan yang dikemukakan tersebut, seperti banyak terjadi di dalam praktik, posisi Jaksa Agung atau pimpinan kejaksaan wilayah (Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri), amat menentukan untuk dilanjutkan atau ditutupnya pemeriksaan suatu kasus, termasuk tindak lanjut atau eksekusi suatu perkara. Ingat, kasus yang menimpa mantan anggota DPRD Sulawesi Utara, yang sudah memperoleh putusan, tapi baru 2 tahun berikutnya ia dapat dieksekusi, padahal yang bersangkutan tidak melarikan diri.

Ya akrobat hukum telah memperlicin pemahaman hukum yang sebenarnya perkara sederhana tetapi menjadi hal yang menyengat publik ditambah dengan isu dan  bumbu-bumbu politik yang macam-macam. Hal itu lumrah saja dalam proses penegakan hukum, tetapi janganlah dianggap sebagai substansi perkara. Saya pun menolak kecacatan tata kelola administrasi hukum dibiarkan berlangsung, juga tidak menerima sikap aparat penegak hukum yang ternyata keliru dalam memahami ruang lingkup dan tugasnya sendiri. Sama beratnya saya terhadap potensi perlakuan sewenang dari aparat terhadap warga masyarakat yang berurusan dengan hukum. Jadi, marilah kita kembalikan kewarasan logika dengan keterbukaan yang jernih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun