Hampir sepanjang 20 tahun terakhir kita menyaksikan perluasan tumbuhnya organisasi regional secara menakjubkan. Hal ini dekat dengan paham “New Regionalism” sebagai model alternatif kerjasama regional. Banyak organisasi regional dewasa ini yang terilhami oleh model Uni Eropa sebagai contoh integrasi regional. Jauh dari meniru sifat keanggotaan Uni Eropa yang selektif supranasional, keanggotaan organisasi non Barat mengelompok dengan mempertahankan kedaulatan negara. Secara mengejutkan, beberapa diantaranya membentuk atau mendirikan badan parlemen yang biasanya diasosiasikan hanya terjadi dalam integrasi Eropa dan membuat aturan dan hukum dasar pemerintahan regional.
Salah satu diantara organisasi regional non Barat itu adalah Association of South East Asia Nations (ASEAN, Perhimbunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara). ASEAN dibentuk 8 Agustus 1967, dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand sebagai anggota. Dewasa ini, dengan bergabungnya Brunei Darussalam (1984), Vietnam (1995), Laos (1997), Myanmar (1997), dan Kamboja (1999), ASEAN telah beranggotakan 10 negara, sehingga telah menjadi payung organisasi bagi seluruh negara Asia Tenggara, kecuali Timor Leste. Tentu tidak semua negara anggota dapat dianggap memiliki sistem politik demokratik. Oleh sebab itu, sejak kelahirannya, organisasi ASEAN berwatak negara dan elitis. Organisasi ini didominasi oleh peran kepala negara atau kepala pemerintahan, pertemuan para menteri, dan pejabat senior.
Pada awal 1970-an, ASEAN mulai merintis mekanisme perwakilan, dengan mengikutsertakan kalangan dunia usaha. Sesuai dengan perkembangan ini, Indonesia memperkenalkan gagasan parlemen regional pada tahun 1974. Usai pembahasan yang panjang, semua negara anggota setuju Piagam 1977 dan bahkan meresmikan ASEAN-Inter Parlementary Organisation (AIPO). Pada 2007, piagam diubah dan nama AIPO diganti menjadi ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA).
Memperhatikan piagam pembentukannya, AIPA memiliki forum pengambilan keputusan dan badan pelaksana yang meliputi Majelis Umum (General Assembly), Ketua (the Presidency), Komite Pelaksana (the Executive Committee), Komite, kelompok perempuan (WIPA), Sekretariat, Sekretariat Nasional AIPA, yang baru saja diluncurkan, adalah AIPA Caucus.
Majelis Umum merupakan badan pengambil keputusan yang mengadakan pertemuan tiap tahun. Setiap negara anggota mengirimkan 15 delegasi. Tiap delegasi dipimpin oleh Ketua DPR atau wakilnya, dan diantara delegasi itu, 5 orang diantaranya harus perempuan. Untuk menjamin kontinuitas, diantara delegasi itu, 5 orang diantaranya harus pernah mengikuti rapat Majelis Umum sebelumnya. Keputusan Majelis Umum berbentuk resolusi atau rekomendasi. Segala putusan harus berdasarkan consensus. Majelis Umum didukung oleh 6 Panitia Pelaksana, Komite Pengkajian, dan Komite ad hoc.
Kepemimpinan AIPA digilir diantara negara anggota menurut urutan abdjad, Ketua AIPA mewakili untuk ASEAN Summit dan sekaligus menjadi Ketua Pelaksana. Di dalam Komite Pelaksana, setiap anggota mengirimkan 3 delegasi anggota parlemen, satu diantaranya adalah Ketua DPR setempat. Komite ini mempersiapkan agenda Majelis Umum, mengawasi pelaksanaan resolusi, mengajukan usul-usul kepada Komite, mengawasi Sekretariat AIPA, dan melakukan seleksi terhadap staf.
Secretariat AIPA dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, yang diajukan oleh Ketua AIPA dengan persetujuan Majelis Umum untuk masa jabatan 3 tahun. Sekretariat Jenderal mengawasi dan melaksanakan aktivitas dan interaksi AIPA terhadap ASEAN, khususnya melalui Sekretariat ASEAN. Dengan didukung 5 orang ahli, organisasi Sekretariat ini menjadi kecil, yang hanya cukup untuk melaksanakan tugas-tugas rutin sekalipun dibebani dengan banyak kewajiban ambisius.
Revisi Piagam pada tahun 2007, tidak hanya mengubah AIPO menjadi AIPA akan tetapi juga untuk memperkuat tujuan-tujuan ASEAN, dan kemudian diharapkan memberikan sumbangan kuat untuk kepentingan kawasan Asia Tenggara.
Struktur AIPA sendiri sering dikeluhkan mirip dengan “forum permusyawaratan.” AIPA tidak menjalankan fungsi perwakilan, legislatif, dan pengawasan. Fungsi perwakilan bersifat “semu” karena tersusun atas para delegasi yang merupakan partai pemerintah ke Majelis Umum. Hal ini mempersulit pertanggungjawaban keputusan.
Dengan komposisi yang bersifat pro pemerintah, tidak akan mengejutkan jika keputusan AIP tidak akan pernah mengecam kebijakan. Tanpa wewenang penyelidikan, fungsi pengawasan AIPA menjadi lemah. Alih-alih berfungsi sebagai watchdog kebijakan regional, Majelis Umum AIPA hanya melaksanakan belaka keputusan yang ditetapkan sebelumnya oleh ASEAN. Resolusi AIPA akan selalu “mendukung”, “menyambut baik”, “menerima”, dan “mengesahkan” saja kebijaksanaan ASEAN, mengingat organisasi ini menghimpun banyak sekali aspirasi dan konstituen yang beragam menurut komposisi DPR nasional.
Dalam hal ini dapat ditunjuk kasus dukungan AIPA terhadap liberalisasi perdagangan melalui kerangka ASEAN Economic Community (AEC), sekalipun faktanya parlemen Indonesia, Thailand, dan Filipina lebih suka mengedepankan kebijakan proteksionis.
Sebagai pengecualian barangkali pembentukan ASEAN Inter Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) pada tahun 2004. Organ ini cukup kritis terhadap pendekatan ASEAN menghadapi junta militer Myanmar, sekalipun parlemen nasional sama sekali tidak mengubah relasi formal mereka dengan pemerintah Myanmar.
Mengingat watak sebagian pemerintahan negara ASEAN yang nondemokratis, maka sudah tentu AIMPC tidak pernah diakui sebagai badan resmi AIPA. Nasibnya serupa dengan ASEAN Inter Parliamentary Caucus on Good Governance, yang diresmikan tahun 2005, oleh mayoritas legislator yang merintis AIMPC.
AIPA juga mengalami ketimpangan kekuasaan legislatif. Sekalipun diberikan kewenangan untuk mengeluarkan resolusi, yang sudah mencapi lebih dari 400 resolusi, tetapi tidak bersifat operasional. Sekalipun ditujukan untuk pengelolaan masalah regional, akan tetapi rumusannya begitu umum dan tanpa dukungan rumusan teknis dengan pemahaman masalah yang begitu minim. Di tingkat nasional, resolusi ini mengundang penafsiran mengenai bagaimana implementasinya dalam pembentukan undang-undang, suatu persoalan serius terkait dengan harmonisasi hukum di tingkat ASEAN. Lagipula resolusi itu tidak pernah mengikat dan tiap DPR nasioanl tidak dapat dipaksakan untuk mematuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H