Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketahanan Pangan di Indonesia: Lampau dan Kini

9 Juli 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:46 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam tulisan ini saya ingin memeriksa kembali kebijakan pangan umum pada 1970-an, disertai kejadian yang tidak hanya sepanjang tahun-tahun formatif ketahanan pangan di Indonesia akan tetapi membandingkannya dengan kebijakan saat ini dan situasi umum saat ini. Banyak hal telah berubah sejak tahun 1970-an. Pertama, pentingnya stabilitas harga telah sering dikemukakan terutama sejak lonjakan harga tahun 1997 dan 1998. Kedua, ketahanan pangan masih dianggap sebagai tantangan utama, dan beberapa organisasi bahkan mengatakan bahwa sistem keamanan pangan telah gagal. Ketiga, kedaulatan pangan terkadang masih dipahami dalam tingkat permukaan dalam arti bahwa setiap negara memiliki kebebasan untuk menetapkan kebijakan yang dianggap cocok. Keempat, perubahan iklim dan pemanasan global dalamproses jangka panjang menimbulkan konsekuensi negatif bagi ketahanan pangan, Kelima, modifikasi genetik kini umumnya dipandang sebagai tawaran potensi pertumbuhan meskipun masih sangat diperdebatkan. Meskipun banyak diragukan lagi ketersediaan benih akan membantu petani kecil; kebutuhan untuk varietas unggul tinggi terutama dari tanaman pangan utama secara luas diakui.

Sekarang, kita lihat pada tahun 1970-an. Dalam beberapa hal waktu itu mengalami kondisi yang lebih mudah dibandingkan periode saat ini, tapi biarkan sejarawan memutuskan tentang hal itu. Pada 1970-an banyak  perekonomian dan sistem politik di kawasan Asia Tenggara masih mengalami pasang surut. Perumusan kebijakan sangat banyak terpusat pada sektor tenaga kerja.

Kebijakan Revolusi Hijau telah memperkenalkan sudut pandang baru: irigasi, pengembangan dan distribusi varietas yang tepat dan produksi dan distribusi pupuk. Irigasi dilakukan dengan perencanaan oleh pemerintah pusat dan daerah, varietas padi berasal dari IRRI - sedangkan bahan induk aslinya adalah persilangan antara berbagai jenis padi Indonesia dan Taiwan.  Negara-negara yang kaya akan gas kemudian merintis pendirian pabrik pupuk. Ketiga adalah bahan, dan selanjutnya adalah puluhan ribu penyuluh, awalnya juga disertai oleh mahassiswa yang menyebarkan teknologi baru di desa-desa, di Indonesia dan awalnya di Jawa dan kemudian luar Jawa. Selama jangka menengah intervensi ini membuahkan kesuksesan besar, produktivitas tenaga kerja naik, pendapatan dan ketersediaan pangan meningkat dan media telah menyediakan program pembangunan pedesaan.

Seluruh konfigurasi kebijakan  tersebut merupakan kebijakan pangan  dan benar-benar merupakan  rangkaian multi-sektoral dan pro-poor, dan di Indonesia melibatkan Presiden, serta kementerian pertanian, pekerjaan umum, dalam negeri, dan badan-badan khusus, yaitu BULOG  dan DOLOG. Hingga akhir 1960-an dan 1970-an merupakan periode identifikasi masalah besar dan  telah diberikan solusi dengan benar. Seluruh proses ini didorong oleh kemauan politik yang kuat, tentu saja oleh Presiden Soeharto, seseorang yang mengerti pertanian dan masyarakat pedesaan  dengan sangat baik. Kesalahan kebijakan juga dijumpai, misalnya aplikasi besar organofosfat, yang mengakibatkan kerugian besar karena hama dan penyakit, tetapi dapat dikoreksi.

Jadi, pada akhir tahun 1970-an  kebijakan sektor pangan di Indonesia melibatkan berjuta petani kecil, terutama di Jawa dan lahan transmigrasi di luar Jawa,  keterlibatan kementerian secara besar-besaran dan sejumlah perusahaan negara, dan kepedualian yang cermat terhadap pedagang beras lokal dan perusahaan penyimpanan. Dua kecenderungan dasar yang jelas  menurun dalam  tahun-tahun berikutnya adalah, penurunan  harga beras internasional dan  fragmentasi kepemilikan tanah di Jawa, dan terjadi juga di sentra produksi padi tradisional di Jawa. Tapi mungkin pengamatan yang paling penting adalah bahwa meskipun kebijakan Indonesia berfokus pada beras, kenyataannya beras tidak pernah menduduki lebih dari 50% dari asupan makanan, dan bahwa lebih dari 50% dari makanan dan pendapatan bagi petani kecil diberikan oleh makanan nonpaid seperti  jagung, kedelai, ubi kayu, sayuran, ikan, ternak kecil dan  buah-buahan. Ini sudah menunjukkan terjadi proses alami diversifikasi pangan pada 1970-an. Proses ini secara luas terjadi di Asia Tenggara.

Bagaimana dengan keadaan dewasa ini?

Di Asia Tenggara, Thailand tetap menjadi pemasok utama beras, dan sekarang disertai dengan Vietnam. Tetapi kini ada harapan baru terhadap Myanmar untuk bergabung dengan eksportir beras di kawasan ini saat negara tersebut  bisa mengelola reformasi yang diperlukan. Namun Wilayah Asia juga mempunyai  dua konsumen dan produsen raksasa, India dan Cina.  Sebagian kecil saja persediaan berasa mereka akan sangat besar untuk ukuran Asia Tenggara. Bayangkan apa yang akan terjadi jika kedua negara tersebut menikmati panen dan akan mengekspor surplus mereka di tahun yang sama, maka harga akan turun seperti yang terjadi pada tahun 2007. Tetapi,  jika panen mereka berkurang dan menerapkan larangan ekspor maka  harga aan menjulang tinggi. Tidak heran negara-negara konsumen beras utama mencoba untuk mencukupi kebutuhan domestik mereka.

Hasilnya padi akan menurun pamornya sebagai komoditas perdagangan utama, yang berarti bahwa hanya sekitar 6% dari produksi dunia yang diperdagangkan secara internasional. Tidak ada perubahan yang nyata dalamhal ini. Tetapi kita dapat melihat ada perubahan nyata di Indonesia sebagai efek dari gagal panen seperti dampak dari El Nino 1997. Ini menegaskan bahwa untuk beberapa komoditas impor. Indonesia harus meningkatkan produktivitas secara substansial. Kitamelihat perubahan besar dan struktural dalam kecenderungan jangka panjang harga beras internasional. Karena harga beras awal tahun 2000 mengalami peningkatan, menandakan berakhirnya kecenderungan perginya instabilitas harga. Beras relatif langka di dunia dibandingkan  komoditas lain. Kecenderungan ini, yang kemudian dikombinasikan dengan fakta  hanya sekitar 6% beras yang diperdagangkan secara internasional, sebagian dapat menyebabkan gangguan  terhadap pasar beras lebih parah dari sebelumnya. Peristiwa 2007/2008 tampaknya menguatkan pemikiran ini.  Sejumlah kegagalan panen yang dikombinasikan dengan pembelian oleh beberapa negara pengimpor, menyertai larangan ekspor oleh negara pengekspor, menghasilkan atas lonjakan harga beras tahun 2007/2008. Hal semacam ini tidak terjadi pada 1970-an.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun