[caption id="attachment_266344" align="aligncenter" width="546" caption=" Ketua MPR sekaligus politisi senior PDI Perjuangan, (alm) Taufik Kiemas/Admin (KOMPAS. com/Indra Akuntono)"][/caption]
Tersiar kabar, Taufik Kiemas, politis PDI-P, suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri meninggal dunia di Singapura setelah 3 hari menjalani perawatan atas penyakit yang dideritanya. Sosok yang sedang mengemban amanah sebagai Ketua MPR ini wafat dalam usia 71 tahun (lahir di Sumatera Selatan, 31 Desember 1942). Simaklah peran dan berbagai pemberitaan serta informasi pria ini, tetapi bagi siapapun yang mengenalnya secara dekat, ada atribut abadi yang nampaknya akan selalu dikenang: Pelindung Megawati.
Taufik Kiemas menjadi sorotan lebih tajam saat isterinya berhasil meraih jabatan Wakil Presiden dalam pemungutan suara di MPR, 20 Oktober 1999, lebih dari setahun setelah Indonesia mengalami demokratisasi dan reformasi politik sejak Mei 1998. Kemudian, Megawati menjadi Presiden sejak 23 Juli 2001, menyusul pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR.
Apa posisi Taufik Kiemas yang tepat sehubungan dengan jabatan isterinya tersebut? Seorang pengamat politik pernah berujar, “Taufik Kiemas dapat memilih menjadi Dennis Thatcher atau Asif Ali Zardari.” Dennis adalah suami “perempuan besi” Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris (1979-1990). Betapapun berkibar peran Thatcher, namun publik juga tahu bahwa Dennis memilih menjadi “pria rumah tangga” yang tidak pernah mencampuri urusan politik. Sementara Asif Ali Zardari, sekarang Presiden Pakistan (sejak 2008) adalah suami Benazir Bhutto, Perdana Menteri Pakistan (2 Desember 1988-6 Agustus 1990 dan 18 Juli 1993-5 November 1996). Di samping suami Bhutto, Zardari aktif di politik dan pemerintahan, menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Investasi dalam kabinet isterinya. Konon pula, Zardari mendapat julukan “Mr. 10%” karena selalu meminta komisi proyek dari para investor selama isterinya berkuasa.
Apakah Taufik Kiemas adalah “pria rumah tangga”? Ya, dan kesan itulah yang menyebabkan perantau asal Sumatera Selatan itu memikat perhatian Megawati. Pernikahan Taufik Kiemas dengan Megawati pada 8 Maret 1973 memang tidak pernah dibahas media, namun hal itu menunjukkan kepiawannya menembus barikade keluarga Bung Karno. Keberhasilannya menembus barikade itu bisa berbuah risiko. Tapi, dengan keberhasilan dan keberhasilannya menghadapi risiko, hal itu sudah bisa menggambarkan bagaimana sosok dan kepribadian Taufik Kiemas. Dia punya tekad, akal, visi, dan keberanian. Setelah menikahi Megawati, Taufik Kiemas tidak lantas berpolitik, tetapi justru berbisnis untuk menopang kehidupan rumah tangganya.
Apakah Taufik Kiemas aktif berpolitik? Ya. Di banyak peristiwa politik di Indonesia, saat Megawati terlibat, di situ pasti ada keterlibatan Taufik Kiemas. Ungkapan ini tentu saja bukan karena status mereka suami isteri, tetapi lebih karena aktivitas mereka yang cukup intens dalam dunia politik, yang menurut Derek Minangka, membuat sosok mereka sebagai “dwi tunggal politik.” Taufik Kiemas sering mengeluarkan pandangan-pandangan yang berbeda dengan sikap resmi partai, tetapi setahu saya pasangan suami isteri itu tidak pernah secara terbuka mengakui perbedaan itu atau bahkan mengumbar perbedaan itu di muka umum.
Taufik Kiemas dikenal berjiwa diplomat, lentur dalam bernegosiasi. Ia di saat isterinya maju dalam pemilu presiden 2004, sempat berbenturan pendapat dengan Susilo Bambang Yudhoyono—waktu itu menjabat Menkopolkam Kabinet Gotong Royong—dengan mengatakan Yudhoyono sebagai “jenderal kekanak-kanakan” menyusul perseteruan antara Megawati dengan menterinya itu. Bulan Maret 2004, Yudhoyono mundur dari kabinet dan segera mengkonsolidasikan diri dan Partai Demokrat hingga terpilih menjadi Presiden. Sekali lagi, Yudhoyono berhadapan dengan Megawati dalam pemilu presiden 2009 dan menang dengan meyakinkan.
Partai Demokrat menguasai kursi DPR sekitar 60%, tetapi Yudhoyono memilih menjalin koalisi dengan partai lain baik dalam menetapkan kabinet maupun upaya memuluskan tiap kebijakan pemerintah. Usaha koalisi itu ditawarkan ke PDI-P tetapi nampaknya Megawati menolak. Tetapi Taufik Kiemas berhasil memulihkan hubungan dengan Yudhoyono, hingga mampu menjadi Ketua MPR dengan dukungan koalisi pemerintah.
Sekalipun MPR tidak lagi “superpower” seperti dulu, tapi sosok Taufik Kiemas tetap menarik dan menjadi sorotan dalam memimpin lembaga tersebut.Belakangan, Taufik Kiemas gencar mengkampanyekan “4 Pilar” sebagai usaha mempertahankan semengat kebangsaan yaitu NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sudah pasti selalu ada gossip dan analisis tidak resmi lainnya mengenai perilaku Taufik Kiemas dalam pemerintahan. Tetapi saya rasa perlu menyodorkan timbangan, sekurang-kurangnya ia meninggal dunia dengan mewariskan sesuatu yang patut ditiru oleh politisi lain: teguh pendirian, sanggup menanggung risiko, tetapi lentur dalam memandang realitas politik. Dan diantara kenangan terhadap Taufik Kiemas yang tidak akan luntur adalah fakta bahwa dia adalah sang pelindung Megawati.
Selamat jalan Pak Taufik Kiemas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H