Serat Wulangreh karya besar Sri Susuhunan Pakubua IV yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa sejak dulu hinga sekarang, digunakan oleh orang Jawa sebagai pedoman hidup yang adiluhung karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang arif dan dapat dijadikan panutan hidup masyarakat.
Serat Wulangreh yang konon sebagai lambang status kebangsawanan Jawa, kini dihadapkan pada budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelestarian. Serat Wulangreh yang konon merupakan tembang yang digunakan sebagai wejangan (pengingat) dan pituduh (petunjuk), kini Sera t Wulangreh hanya lantunan lagu yang sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat banyak. Serat Wulangreh, bagi masyarakat Jawa tentu memiliki arti tersendiri, bukan saja tentang nada ataupun makna, tetapi juga pengaruh yang dimunculkan oleh Serat Wulangreh, sejarah dan filosofi yang sarat makna, bahkan telah menjadi semacam Filosofi Hidup. Serat Wulangreh, pada zaman dahulu telah menjadi suatu tembang yang menarik untuk didengarkan sebagai tuntunan akhlak Jawa (unggah-ungguh), dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah untuk diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek lirik maupun makna, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya. Sebut saja, beberapa jenis tembang yang ada dalam SeratWulangreh seperti Pucung, Sinom, pangkur, dhandanggula, gambuh, maskumambang, durma, wirangrong, mijil, girisa, megatruh, kinanti, dan asmarandana yang sampai sekarang masih dikenal oleh sebagian masyarakat kecil walaupun hanya sebatas syair (dolanan) mainan saja.
Serat Wulangreh adalah senjata sekaligus karya seni yang bernilai tinggi. Nilainya terletak pada keindahan syair dan makna yang terkandung dalam syair tembang, bahkan proses pembuatannya yang memerlukan waktu yang lama dan pemikiran yang sangat dalam serta ketekunan dan ketrampilan yang khusus. Orang yang memiliki cita rasa (taste) seni tinggi niscaya mengagumi Serat Wulangreh sebagai seni budaya yang berharga. sebagai seni budaya, Serat Wulangreh lazim digandrungi seluruh masyarakat Jawa. Seiring berjalannya waktu, budaya Serat Wulangreh kemudian menyebar keseluruhan Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Serat Wulangreh termasuk jenis tembang Jawa, namun tidak semua tembang Jawa adalah Serat Wulangreh.
Setting
Keraton Surakarta didirikan oleh Sunan Pakubuana II (1725-1749) pada tahun 1745 sebagai penganti Keraton Surakarta yang rusak parah akibat seranganpara pemberontak (geger pecinan ), yaitu pertempuran antara Cina dengan VOC yang meletus di Batavia dan merambah ke Jawa termasuk Kartasura, sehinga pertempuran itu memaksa Keraton Kartasura untuk pindah. Ahirnya para petinggi keraton pun sepakat untuk mencari lokasi pengganti keraton Kartasura yang telah rusak, diantara petinggi-petinggi keraton itu ialah Patih llebet Adipati Sindurejo,patih Jawi Adipati Pringgoloyo, dan beberapa wakil bari belanda. Dari pencarian lokasi itu ahirnya mendapatkan tiga tempat yang di angap cocok, antaranya; desa Kalipada desa Sanasewu dan desa Sala, dari ketiga desa itu di seleksi lagi oleh pihak keraton, berdasarkan penilaian megis dan mistis serta tata letak desa secara geografis, maka desa sala yang di jadikan tempat berdirinya Keraton sebagai penganti Keraton yang telah hancur.
Maka setelah berdiri Keraton baru di Sala maka munculah perjanjian Gayatri yang di tandatangani pada tahun 1755 yang melibatkan tiga komponen, yaitu pihak VOC, pihak Pakubuana III, dan pihak Mangkuubumi atau yang di kenal dengan peristiwa Paliyan Nagari. Dalam perjanjian Gayatri tanggal 13 Februari 1755 berisi tentang bembagian wilayah, yakni kekuasaan wilayah Mataram di bagi menjadi dua yang sama besarnya yaitu antara kekuasaan Kasununan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, yang masing-masing bebas dalam kewenangan pemerintahan dan penyelengaraan kebudayaan Jawa. Akan tetepai seiring berjalanya waktu Keraton Surakarta harus kehilangan sebagian wilayahnya sebesar 4000 karya, pada tangga 17 Maret 1757 untuk diberikan kepada Raden mas Said (KGPPA Mangkunegaran I) atas kesediaanya mengahiri perlawananya terhadap Kasunanan Surakarta. Tidak hanya sebatas itu pergolakan kekuasaan di Kerajaan-kerajaan Jawa yang melibatkan Kasununan Surakarta, akan tetapi pergolakan itu terus bermunculan, berganti dan berubah-ubah hingga masa kepemimpinan Sri Susuhunan Pakubuana IV pada tahun 1788-1820 M yang mengantikan kepemimpinan Sunan Pakubuana III.
Pada masa kepemimpinan Sri Susuhunsn Pakubuana IV inilah Kasunanan Surakarta bisa di katakan keadaanaya berubah drastis mulai dari tradisi, kebiasaan, pola hidup, serta keadaan yang ada di Surakarta, hal ini di karenakan nuansa keagamaan (religius) pada masa kepemimpinan Pakubuana IV sangat menonjol, seperti halnya pakaian, kebiasaan, serta bangunan-banguna di sekitar wilayah Keraton Surakarta mulai berubah. Bahkan Pakubuana telah mendirikan Masjid di Kasununun Surakarta dan mengajarkan nilai-nilai luhur agama, sosial, budaya, budi pekerti serta moral dan prilaku yang baik melalui sastra-sastra jawa yang indah dan njawani sesuai dengan prilaku wong jowo.
Sosok
Dalam suasana setting sosial yang semacam itu Sunan Pakubuwana IV menggubah Serat Wulangreh. Sri Susuhunan Paku Buwana IV lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bagus, yang mewarisi darah kaprabon dan kapujanggan ramandanya. Mendapat gelar demikian karena memang memiliki wajah yang sangat tampan. Dalam usia yang masih muda, Sunan Bagus naik tahta menggantikan ayahandanya Pakubuwana III. Sunan Bagus atau Pakubuwana IV memegang kekuasaan pemerintahan Kraton Surakarta Hadiningrat sejak tahun 1788 sampai dengan 1820 M. Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Sambadya. Beliau lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M.
Kontemplasi
Dalam Serat Wulangreh terdapat beberapa jenis tembang dan di setiap tembang terdapat beberapa bait syair, di setiap tembang dan syair mempunyai makna yang berbeda-beda. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyelami makna yang terkandung didalam Serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Paku Buana IV pada umumnya dan unsur-unsur Islam dalam Tembang Dhandangula pada khususnya. Serat Wulangreh merupakan tembang klasik asli Jawa, yang pertama kali muncul pada awal Kraton Surakarta dibawah kekuasaan Sri Susuhunan Paku Buana IV, dimana Sri Susuhunan Paku Buana IV pada saat itu ingin mengingatkan dan mengenalkan Islam melalui budaya. Diantaranya adalah melalui syair tembang yang di tulis dalam Serat Wulangreh yang di ciptakanya.